Sabtu, 24 Oktober 2009

CHILDHOOD


"...little girl and little boy walking while holding hands..."

PROLOG TIGA PULUH LIMA

Jumat, 23 Oktober 2009

PROLOG TIGA PULUH EMPAT


Baru 4 pertemuan...
Malam pertama. Tempat perkenalan yang sama. Balutan jaket manco hijau pastel, dan kneey-jeans serta sandal putih. Berkeliling tak tahu arah, layaknya tak tahu siapa dan apa. Berputar mengelilingi malam, dan akhirnya duduk di bawah atap sewaan.

Mulailah percakapan santai. Seperti melahap hidangan pembuka yang renyah dan manis. Ringan, tapi mengandung makna dalam. Dan harus didalami lagi. Seperti biasa, pertemuan yang sama. Sangat biasa, mengobrol, saling pandang, akhirnya diteruskan ritual-ritual wajib kaum homoseks. Ritual yang biasa. Tak dapat ditolak. Berpagutan menyatu, meniup rambut-rambut halus nafsu, mengecup melintasi pucuk-pucuk hasrat, memeluk separuh tubuh dan segelintir jiwa, mengeluhkan kenikmatan, mereguk seteguk anggur dan ingin menambah seteguk lagi... seteguk lagi... seteguk lagi...


Hingga mabuk. Meresapi batang dan buah kejantanan masing-masing. Tanpa melihat, hanya melumat. Melahap raga hanya dengan geliat.


Tapi yang satu tak mau direnggut. Yang satu ingin merenggut. Kemauan yang tertahan. Namun selalu ada cara untuk membuat singa mengaum, hanya tinggal mengudarakan aroma daging segar. Membiarkannya mengejar.


Aku membiusnya, agar tidak memakanku. Hanya membiarkan ia menyuruhku apa yang ia mau. Menggingit, mengusap, mengguncang magma dengan jemari, hingga harus dengan kekuatan yang cukup besar, agar lahar hangat di dalamnya segera keluar.

Keluar sudah apa yang tersumbat. Lengah, lelah, berkeringat, namun tak ada kepuasan. Hingga pilihan meminta untuk memejamkan mata sejenak. Tidur dalam sentuhan antara punggung dan punggung. Tidak saling menatap, karena terlalu tak berdaya.

Getaran terus membahana, meluapkan apa yang belum selesai ditautkan. Kuraih pori-pori kulitnya dengan sentuhan dingin yang perlu dipanaskan. Ia memberi kehangatan. Membuka katup yang tertutup, tersembunyi di balik dua benua. Meresapinya dengan girang, meliuk-liukkan lidahnya sebagai kunci agar katupnya terbuka. Sebentar lagi, sesaat lagi akan terbuka, tapi perlu melicinkan terowongan yang berdinding kasar dan berukuran sempit dengan sesuatu, agar lebih mulus dijalani. Tak perlu penerangan, karena semua katup telah tertutup sempurna. Tidak memberikan ruang bagi petualang lain. Hanya ia yang merajai ruangan. Melakukan adegan-adegan mesra di atas bait-bait prosa dalam raganya. Berulang-ulang ia melakukan gerakan. Ia hanya tahu akan kenikmatan membujuk magmanya keluar kembali. Hanya itu yang ia harapkan. Tanpa merasakan, apakah terowongan yang baru saja ia lewati berguncang atau tidak. Ia hanya terus membuat dirinya mengerang, tak peduli ruangan itu gelap atau terang. Barulah ia menemukan tempat dan momen yang tepat untuk memuntahkan apa yang ingin ia muntahkan. Perjalanan panjang dan panas membuatnya mual dan lemas lagi. Kemudian, tanpa memandang jalan yang baru ia lewati, tak melihat kondisinya utuh atau runtuh, ia terlelap.


Malam kedua. Seperti yang biasa, seperti yang lainnya. Ia ingin tahu, "what inside". Namun bahkan ia tidak mengerti apa yang ada sebelum "what inside". Ia sama saja, menilai suatu hal dengan bertanya. Mengetahui makna setelah mendapatkan jawaban. Atau, berusaha mengerti sesuatu yang sulit ia mengerti. Karena aku tidak akan pernah memberikan jawaban untuknya. Ia mengenalkan dunianya ke duniaku, padahal aku sudah memiliki dunia itu. Tapi ia tidak bisa masuk dalam duniaku. Bukankah manusia selalu berpaling, berusaha mengubur hal-hal buruk yang telah dilakukannya? Sudah kubilang berkali-kali dalam pesan yang tidak pernah ia mengerti. Bahwa aku adalah dunia yang berbeda, yang harus dipupuk dahulu sebelum dipetik bunganya, yang harus disucikan dulu sebelum dikenakan. Bukan memetik jika masih ranum, dan menelan jika masih panas.

Malam ketiga. Datanglah ia karena kelelahan menghadapi sifatku. Seperti yang lainnya. Serupa dan sangat sama. Ia sangat lelah, sangat letih. Seperti layaknya saat aku mengganggunya di saat ia menganggap dirinya letih, namun di saat yang lain mengusiknya di waktu yang sama, ia menanggalkan keletihannya. Itulah malam di saat ia mengeluarkan sendiri, tanpa aku harus mengeluarkan. Karena aku tahu, sebuah potret yang ada di depanku ini masih belum bisa menyatu denganku. Sadarku di malam ketiga, meski bungaku telah layu di malam pertama. Namun, layu tidak berarti mati. Ia dapat berbunga kembali, bahkan di tengah gurun tandus sekalipun. Hanya perlu dirawat, oleh orang yang benar-benar ingin merawatnya. Di malam ketiga, ia kulepaskan. Menggenggam pasir terlalu kuat memang justru membuatnya keluar di sela-sela jemari, pelan maupun cepat.

Malam keempat. Malam yang akan menjadi malam-malam berikutnya. Karena betapapun aku mengejar rantai yang terputus, aku akan ketinggalan kesempatan yang lain. Mudah menggunakan rantainya, tapi sulit membuat dan mempertahankan kekuatannya. Terkait satu sama lain antara lingkaran-lingkaran tak sempurna. Jika terputus di satu titik, merugikan bagian yang lainnya. Aku menyanjungnya, karena aku menaruh mahkota besar di kepalanya. Dan tak akan kulepaskan darinya, karena mahkota itu memang kubuat untuknya. Sebuah penghargaan dari kebersamaan tiga malam. Yang harus kulukiskan dengan begitu indah. Meski itu semua susah. Malam berlanjut, hingga pagi bertaut...

"Selamat pagi wahai orang yang tak kukenal tapi selalu kupirkirkan. Lelaki penuh kemegahan karya yang kubanggakan, hingga menutupi ketidakmampuanku melukiskan pesonanya."

"Kusiapkan kanvas tapi selalu pudar. Kuraut pensil, tapi tak pernah bisa runcing. Kugetarkan kuas, tapi selalu patah. Bahkan kubuat warna merah alami yang akan kusapukan dengan darah. Aku siap melukismu, ciptaan agung dari Yang Agung. Tapi kau tak hadir, bahkan hingga darah itu mengering..."
(to be continued)

Senin, 19 Oktober 2009

PROLOG SEMBILAN BELAS


       Dia duduk di kursi taman tua yang sudah mulai berlumut. Siang itu sedikit gelap, karena alam beratapkan awan yang siap mendengungkan bunyi gemuruh, melintaskan kilat, menembakkan petir, lalu memuntahkan air-air hujan. 

       "Hai, mendung! Kau tampak pucat!" 

        Mendung memang sepucat batu di dekat trotoar. 

        Lalu, kilat melintas. Memotret seluruh jagad raya. 

       "Hai, kilat! Pe-De banget loe! Motret ga ijin dulu! Permisi kek, apa kek..." 

       Kilat melintas untuk kedua kalinya. Seperti balasan. 

       "Hai, kilat kedua! Sampaikan maafku untuk kilat pertama. Dan sampaikan pula maafku untuk malaikat Penurun Hujan. Oke?" 

           Lalu gemuruh mengalun membahana. Melingkupi udara dengan suara geram. 

           "Oh, halo, gemuruh! Tumben geramanmu kecil. Nggak kedengaran nih..." 

           Lalu terdengar gemuruh lagi untuk kedua kalinya. Volumenya masih sama. Masih kecil. Belum menggelegar. 

           "Kenapa? Kamu sakit ya, gemuruh? Tangisanmu pasti tidak sekencang kemarin..." 

           Dia menunggu. Masih menerawang ke angkasa. Menunggu sesuatu yang lain datang. Tapi, hanya suara gemuruh, diikuti kilat sesekali. Belum ada tanda-tanda lain. 

           "Hai, awan, kilat dan gemuruh! Mana kawanmu, petir? Dia kok absen? Atau masih tidur?" 

           Tapi ternyata hujan yang menjawabnya. Rintik-rintik kecil mulai turun. Jatuh satu per satu seperti kristal-kristal dingin yang pecah saat menyentuh bumi. 

            Dia tetap duduk di kursi yang sama. Dengan posisi yang sama, dan dengan raut wajah yang sama. 

            Lalu decit rem mobil menggertaknya. Sebuah mobil merah menyapanya dengan pelan. Seorang lelaki keluar dari dalamnya. Dia masih bisa melihat lelaki itu dengan jelas, meski matanya pedih diguyur hujan. Mengamuflasekan air matanya. 

            "Dik, kamu kehujanan. Ayo..." 

             Kemudian lelaki itu memeluk tubuh kecilnya. Mengajaknya bangun, lalu membukakan pintu mobil untuknya. 

          Di dalam mobil, lelaki itu mengeluarkan sapu tangan dari dalam saku celananya. Kemudian mengusap wajah orang di sampingnya dengan lembut. 

            "Tadi, lama nungguin aku?" 

            "Lama banget. Sampai aku diejekin sama awan, kilat dan gemuruh..." jawabnya. 

            Sang lelaki menghentikan usapannya, menurunkan tangannya, dan tersenyum pada orang yang ada di sampingnya. Matanya memandang tajam ke arah mata orang yang ada di sampingnya. Kemudian, satu kalimat meluncur dari bibirnya yang merah. 

           "Apakah petir juga mengejek kamu?" 

         "Tidak. Dia tidak datang. Tapi kamu yang datang..." jawabnya dengan bibir dan mata yang masih basah... (to be continued)

Selasa, 13 Oktober 2009

PROLOG LIMA

Musholla pagi itu tampak sepi, seperti halnya setiap pagi. Memang selalu sepi. Aku belum mau ke sana. Kemarin aku masih sakit hati dengan Dia.

Lalu di dalam ruang OSIS lagi, kunyalakan komputer, dan memeriksa tugas harianku. Dispensasi masih normal, tidak ada yang memalsu tanda tangan. Biasanya anak-anak iseng pemalas, sering memanfaatkan dispensasi. Agenda hari ini, tidak ada. Kosong. Tapi, pikiranku selalu penuh. Overload. Siap ditumpahkan kepada siapa saja yang akan datang ke ruangan ini.

Benar saja. Kudengar langkah kaki berlari. Keteplek-keteplek...

Bukan! Bukan sasaranku. Itu hanya mbak Aulia. Sekretaris seniorku yang pintar luar biasa. Wajah Ibrani-nya selalu membawa aura padang pasir. Kerudungnya putih hari ini. Disemat dengan bros melati di sisi kiri atas dadanya. Selalu menenteng tas kertas berisi sajadah dan mukena, yang akan ia bawa ke musholla. Ia selalu rutin ke mushola jam 8 pagi. Menyapa Dia... aku masih sedikit sakit hati kepada-Nya. Mbak Aulia mungkin tergesa-gesa. Tanpa mampir lebih dulu, tapi masih sempat tersenyum menatapku dan menyapa,

Assalamu'alaikum... (to be continued)

Senin, 12 Oktober 2009

Children of Heaven - The Natural Touch of Moslem's Children



Children of Heaven

Children of Heaven sebuah karya Majid Majidi yang memenangkan berbagai penghargaan internasional antara lain Montreal World Film Festival, Silver Screen Awards di Internasional Film Festival dan Nominasi Piala Awards 1999 untuk Best Language Film.

Sebuah kisah dari negeri Timur Tengah. Seorang anak kecil bernama Ali Mandengar (diperankan oleh Amir Farrokh Hashemian) hidup sangat sederhana di tengah-tengah keluarga bersama dengan kedua orang tuanya dan kedua adiknya.

Pada suatu ketika, di sebuah tempat sol sepatu Ali bermaksud mengambilkan sepatu adik pertamanya Zahra karena selesai diperbaiki. Kemudian ketika hendak membeli kentang di sebuah warung sepatu adiknya tersebut hilang terambil oleh seorang pemulung. Ia kebingungan.

Saat menceritakan kejadian itu kepada adiknya, adiknya menangis dan meminta Ali mencari sepatunya karena ayahnya tak mungkin mampu membelinya lagi. Ali berusaha mencarinya namun tak berhasil.

Sebagai pertanggung jawabannya Ali bersedia meminjamkan sepatunya kepada adiknya (Zahra) tersebut dengan cara bergantian memakai saat sekolah yaitu dipakai Zahra pada pagi hari dan Ali memakainya di siang hari. Ini mengakibatkan Ali sering terlambat masuk sekolah dan mendapat masalah.

Zahra masih berusaha mencari…akhirnya ia menemukannya dalam kedaan terpakai oleh anak lain dan setelah ditelusuri anak tersebut ternyata anak seorang tuna netra. Akhirnya mereka mengurungkan niatnya untuk mengambil kembali sepatu tersebut dan mereka berdua terus bergantian sepatu setiap harinya.

Suatu hari diadakan kejuaraan lari jarak jauh antar sekolah dengan hadiah ketiga berupa sepatu olah raga. Ali sangat bersemangat mengikuti lomba ini, karena ia sangat membutuhkan sepatu itu, yang rencananya akan ditukar dengan sepatu wanita, untuk diberikan kepada Zahra, adiknya tercinta.

Ali mengikuti kejuaraan tersebut meskipun pendaftarannya agak terlambat , namun diterima. Ia terus berusaha lari sekuat tenaga…lari dan terus lari…dan pada akhirnya ia justru memenangkan juara pertama…

Selasa, 06 Oktober 2009

Perbandingan Satu



Bandingkan!


Burung tidak ingin bisa menyelam, ia cukup puas dengan menguasai angkasa.
Ikan justru sangat menikmati luasnya samudra, dan tidak pernah menginginkan punya kaki untuk tahu daratan.
Kura-kura tidak ingin berjalan cepat, karena ia memiliki rumah yang harus ia bawa bawa kemana-mana.
Lebah tidak pernah meminta emas pada yang meminta madunya, karena ia bisa menghasilkannya setiap saat.
Dan pohonpun tidak diijinkan untuk menjerit, saat tubuhnya ditebang...

Manusia punya kapal selam untuk menyelami dalamnya lautan.
Manusia mampu membuat pesawat untuk menerbangi langit, bahkan menjelajah ruang angkasa.
Manusia sering memperlihatkan kemampuan 'mengebut' dengan motor atau mobilnya, padahal mereka masih punya kaki.
Manusia selalu ingin meniru, ingin melebihi orang lain dan ingin ini ingin itu.
Ingin segalanya.


Aku tentu memilih opsi kedua. Karena aku masih menjadi manusia. Atau karena itu takdir. Merubahnya adalah mungkin. Tapi selalu ada 1 yang tidak mungkin, di dalam 1000 yang mungkin...

Senin, 05 Oktober 2009

Prolog Tiga

GERRY SATYA

Ia terus memandang di balik kacamatanya. Pagi itu. Kembali ia ke sekolahnya. Seperti biasa. Ia membangunkan ayam jago yang dipelihara oleh bapaknya. Pukul empat pagi. Ia lalu melepas kacamata dan mulai mengguyur tubuhnya dengan air hangat yang sudah disiapkan emaknya.

Pukul lima pagi, tas telah siap dengan buku-buku dan dokumen-dokumen penting lainnya. Wortel dan kunci segembok. Kebutuhan belajar selama satu bulan selalu ia bawa setiap hari ke sekolah. Perlengkapan ibadah dan mandi. Semuanya.

Pukul lima lebih lima belas pagi. Sepatunya telah mengilap. Ia menemui piring melaminnya. Menunggu sejenak di dekat tungku tempat emaknya memasak nasi. Dengan senyum yang biasa, sang emak meminta piring melaminnya, kemudian mengambilkan nasi panas dari 'dandang'. Kemudian ia mengambil telur ceplok di wajan, lalu memulai sarapan rutinnya.

Pukul setengah enam, selesai menggosok gigi, ia siap berjalan menembus kabut. Sengaja ngebut meski berjalan kaki. Lima menit berikutnya, ia mendapatkan metromini langganannya. Setengah enam lebih lima menit pagi, hanya ada dia satu-satunya penumpang yang berseragam sekolah. Lainnya sibuk dengan ayam, tempe, kerupuk atau ricuh tawar-menawar antara sesama pedagang yang menuju ke pasar. Lima belas menit ia berkutat di dalam metromini, sampai ia di depan gerbang sekolah yang masih tertutup.

"Pak...!"
"Yo-yo!!! Sik!"

Gerbang akhirnya dibuka. Bahkan, sepanjang jalan di dalam sekolahnya masih dipenuhi daun-daun kering yang basah.

Ia menemui sebuah kandang kecil di depan kamar mandi guru. Ia membuka pintu kecil dari kayu, seekor kelinci mungil berbulu abu-abu meninggikan telinga merah jambu. Ia menurunkan ransel beratnya, lalu mengaduk-aduk dalamnya sampai mengeluarkan sebuah wortel kecil dan memberikannya pada kelinci abu-abu. Setelah memastikan kelinci abu-abu memulai gigitan pertama, ia meninggalkan kandang itu. 

Beralih ke ruangan terkunci. Ia menarik kursi kayu dan memanjatnya. Mengeluarkan segembok kunci dari ranselnya. Tanpa meneliti satu persatu puluhan kunci dalam lingkaran, ia langsung memasukkan satu kunci berwarna merah tembaga ke dalam lubang gembok pintu. Memutarnya hingga salah satu tuas gemboknya terangkat. Membuka sebuah ruangan yang selalu ia rindukan setiap hari... (to be continued)

Life Goes On!!!

Minggu, 04 Oktober 2009

Persamaan Gagal dan Nol, Sukses dan Berhasil



Bagaimana aplikasi "x" kuadrat dalam kehidupan? Atau, apakah yang disebut dengan perkalian 1x1=1? Ketetapan? Namun 0 dikalikan bilangan berapapun, hasilnya akan tetap nol? Nol kuadrat? Samakah dengan kegagalan yang dilipatgandakan? Benarkah, filosofi "Tujuan dikalikan Usaha = x" (x1=Sukses, x2=Gagal)? Padahal, dalam pengertian Matematis, "kosong" tidak sama dengan "nol"?

Kamis, 01 Oktober 2009



If there is a light in the soul,
There will be beauty in the person.
If there is beauty in the person,
There will be harmony in the house.
If there is a harmony in the house,
There will be order in the nation.
If there is order in the nation,
There will be peace in the world.

                             ~ Chinese Proverb

Prolog Dua



"Kesunyian memiliki tangan-tangan halus bagai sutra, namun dengan jemari yang kuat ia mencengkeram hati dan meyakini dengan derita. Kesunyian adalah sekutu derita sekaligus ketinggian jiwa..."

 
Powered by Blogger