Sabtu, 26 Desember 2009

Abstraksi 2010... is coming up...

Kamis, 10 Desember 2009

PROLOG DUA PULUH DELAPAN


Laki-laki berpawakan tegap. Tubuhnya tinggi menjulang, 183 cm. Wajahnya keras dan berani. Seberani langkahnya yang mantap, siap menerjang gelombang di depannya. Inilah lelaki yang kutafsirkan sebagai lelaki terindah setelah kubaca satu novel karya penulis favoritku, dan favorit kaum "G" tentu saja.

16 Maret. Dia sudah menunggu begitu lama di ruang tamu rumahku. Memandang lukisan-lukisanku yang memang kutujukan untuk dirinya. Alisnya yang lebat dan hidungnya yang mancung sangat dominan, tapi tak sedominan bibirnya yang merah. Seperti mawar yang baru mekar, dan siap untuk diambil sarinya.

Aku selesai mengemasi barang-barang, lalu menuju ruang tamu. Ia melihatku, dan langsung berdiri. Menegapkan badan hingga kelihatan sekali otot-otot dada dan perutnya mengembang. Lengan dan dada yang sangat didambakan "lelaki lain" untuk disinggahi.

"Tante, kami berangkat. Tidak perlu cemas. Saya akan antar Ujiek besok lusa," katanya tegas namun sopan.

Lalu ia menjabat tangan ibuku, setelah terlebih dahulu aku mencium tangan ibuku. Dia melangkah di depanku. Seperti benteng kokoh yang melindungi putri raja di dalamnya. Kami berangkat menuju Surabaya, tempat ia bekerja, tempat ia akan membuat ending yang bagus untuk hubungan kami.

Selama di perjalanan, kami mengingat-ingat kembali masa-masa yang telah kami jalani. Rasanya seperti berusaha menguak kisah lalu, sebelum kisah itu berakhir.

"...4 tahun lalu, aku kenal kamu..." suaranya berat, setelah tertawa karena sebelumnya kami bercanda.

"Iya, mas. Lama banget! Kita udah ngelakuin banyak hal," balasku.

"Ngelakuin apaan?"

"Nggak ngelakuin apa-apa. Bukankah "apa-apa" itu sudah lebih banyak daripada "apa"?"

***

Sampai di Surabaya. Hujan begitu lebat di seputaran jalan arteri di Kota Pahlawan ini. Tiba di sebuah rumah gedongan bercat putih, aku bisa melihat pagar yang terbuat dari tanaman yang dipangkas sangat rapi.

Pintu pagar yang basah itu terbuka, membawa mobil masuk ke tepi tangga ruang depan. Aku sedikit pusing. Entah, mungkin karena aku terlalu menikmati perjalanan ini dengan banyak ngomel.

Ia basah. Seluruhnya. Karena ia sedang mandi. Bilik kamar mandinya yang terbuat dari kaca sangat bening, tidak akan menutupi satu senti pun dari kulitnya. Jika aku sama seperti "yang lain", tentu akan langsung kutembus bilik itu, dan kunikmati apa yang ada di dalamnya. Tapi aku berbeda. Ia memang lelakiku, dan aku wanitanya. Ia sangat menjagaku. Menjaga hubungan kami selama hampir 4 setengah tahun dengan begitu baik. Karena dialah lelaki terbaik yang pernah kumiliki.

Melihat dia selalu on-time menjalankan kewajiban ibadahnya, selalu ada rasa kasihan dariku. Lelaki sesempurna ini, ternyata memiliki cacat yang sangat besar. Lelaki yang begitu didambakan banyak orang, seorang co-pilot handal yang dikagumi pramugari dan perusahaan penerbangannya, memiliki harga yang sangat tinggi, tapi memilih barang dengan diskon yang paling besar.

Terlalu banyak cumbuan, ciuman, kelamin dan kulit yang sudah terbentuk dalam hubungan seperti ini. Tapi kami tidak!

Pandangan terhadap kesempuarnaan raga, ketampanan paras, kejantanan otot dan keperkasaan daya pria adalah game yang harus segera dimainkan. Tapi kami tidak!

Stat, top, bottom, seperti stempel dengan banderol harga yang berbeda dari setiap model dan jenis barang. Membanggakan permainan ranjang antara dua insan yang sama kuat, sama sempurnanya bertarung. Bergulat seperti tontonan sirkus tak berwajah. Tapi kami tidak!

Selanjutnya, akan sangat lengkap di dalam novel.

***




Meja kaca bundar itu merefleksikan bayanganku sendiri. Panasnya Surabaya, dan dinginnya blueberry-chic, nikmat sekali. Ia menyuruhku duduk di sini, sendirian. Kupikir ia sangat tergesa-gesa, sampai-sampai ia tidak sempat melepas seragamnya.

Tapi, sekarang aku sudah bisa melihat seragamnya lagi. Masih bisa kudengar tarikan nafasnya yang dalam. Ia membawa seseorang, asing, dan cantik.

Ia duduk di sampingku, aku duduk di sampingnya, dan cewek cantik itu duduk di depan kami berdua. Semenit, sepuluh menit, setengah jam, aku berusaha mengobrol dengan cewek yang ada di depanku. Kami berdua sudah kelihatan sangat akrab. Lalu lelaki yang ada di sampingku menyela perbincangan asyik kami.

Ia memandang ke arah cewek cantik di depanku dan di depannya. Memanggil namanya.

"Nis...,"

Aku melihat cewek bernama Annisa itu masih tersenyum dan menyaut lembut.

"Ya...,"

Lelaki di sampingku merangkul bahuku. Sangat gugup dan bisa kurasakan tangannya begitu gemetar.

"Kenalin..., ini 'cewek'ku..."

Saat itu, panas masih terik. Ruangan berdinding kaca itu masih bisa memberikan siluet antara seorang perempuan berkerudung yang sangat cantik sedang duduk terpaku, di depan dua orang lelaki yang ada di depannya...

***

(to be continued)

Selasa, 08 Desember 2009

Go Back to Remember


Libur satu hari bisa terasa sangat lama. Atau sebaliknya. Mendapat cuti satu minggu, rasanya cepat sekali kembali dengan setumpuk pekerjaan. Waktu memang sejak dulu menguasai. Sampai kali ini pun, manusia yang berbangga menyebut dirinya makhluk paling sempurna di muka bumi ini, belum mampu membuat alat yang mampu menghentikan waktu meski cuma satu detik, atau memperlambatnya sepersekian detik, apalagi mengulangnya.

Sembilan belas tahun bagi orang yang sudah melewatinya, akan terasa begitu cepat. Beda dengan yang sekarang masih berusia di bawah 18 tahun. Orang dalam opportunity kedua ini hanya mampu berangan. Sementara orang dalam opportunity pertama tadi, cuma bisa menengok catatan masa lalunya.

Ingat kembali...
Sembilan belas tahun sembilan bulan lalu, kurang lebih, tubuh ini masih belum terbentuk. Belum ada ruh. Hingga Sang Khaliq memerintahkan ruh ini hadir dan berkembang, hidup di rahim yang hangat, nyaman dan aman. Menyusu pada sari-sari yang dimakan atau diminum oleh satu-satunya orang yang memberikan kasih sayang terluas dan terikhlas, ibu. Meski setiap malam, kaki kecil dan rapuh ini menendang bagian dalam perutnya. 'Sebuah' janin yang tidur dengan nyaman, tapi tidak membuat nyaman yang mengandungnya.

Ingat kembali...
Saat tubuh ini meluncur dari persembunyian. Keluar dan bersentuhan dengan oksigen serta senyawa-senyawa lainnya. Masih terlalu kecil untuk membuka mata. Masih terlalu mini untuk tahu segala hal yang jauh lebih besar. Hidup. Hidup lagi.
Ingat kembali...



Masa kecil yang urakan. Waktu TK, saat masih bisa telanjang di bawah guyuran hujan. Dengan 'pe-de'nya mengusap 'ingus' dengan tangan (disebut : "ngelap umbel"). Bermain kejar-kejaran di lapangan. Mencuri mentimun dan tomat di kebun milik orang lain karena kehausan sehabis pulang sekolah bersama teman-teman. Mandi bersama di sungai, bersama anak-anak lain, bersama kerbau dan penggembalanya. Bertarung di medan 'perosotan' tanah. Meluncur bergesekan dengan bumi, sampai celana bagian 'bokong' berlubang. Belajar mempertahankan diri. Belajar melindungi diri. Belajar melawan. Berkelahi dengan anak dari 'gank' lain. Sampai seragam putih-merah menjadi merah-merah.



Ingat kembali...
Masa SMP, masa puber. Tau yang namanya baju bagus, baju keren dan ga' keren. Tau yang cantik dan yang ganteng. Tau yang boleh dan tidak. Tapi, cuma satu. Kesenangan.



Ingat kembali...
Seragam putih abu-abu yang sekarang udah berwarna-warni kena pilox waktu lulusan. Begitu susahnya ibu dulu menjahitnya. Begitu susahnya dulu bapak mencari uang untuk bisa masuk sekolah. Sekarang cuma jadi pajangan, penuh coretan kenangan, dan usang. Dari yang cuma tau cantik dan tampan, saat itu mulai tau cover depan saja. Belum waktunya membuka isi di dalamnya. Belum juga masanya untuk bisa mengartikan apa yang ada di dalamnya. Tapi, namanya juga anak muda 'gheto loch'! Daripada disuruh belajar mapel, pasti lebih memilih belajar cinta. Ga' munafik kok. It's so natural!


Kini waktunya membentuk yang masih abstrak. Menata yang semula berantakan. Bukan waktunya lagi buat cuma main-main. Bukan waktunya juga buat menikmati hidup. Tapi membentuk. Banyak yang sudah mulai membentuk sebelum waktunya membentuk. Banyak yang sudah mencuri start. Tapi banyak juga yang terlambat membentuk. Tapi itu lebih baik, daripada tidak membentuk sama sekali.




Ada orang-orang baru yang harus dihadapi. Begitu pula, ada orang-orang lama yang ditinggalkan, meski tidak ingin dilupakan. Matahari itu diam, bumi yang bergerak. Tapi kenapa justru kita yang merasa, bahwa kita yang diam di tempat, dan matahari yang bergerak memutar? Sama halnya dengan kaki yang berjalan, padahal kita merasa bumi yang kita pijak ini tak bergerak. It's so natrural!

Selalu ada kesempatan untuk memperbaiki yang telah rusak. Entah berhasil atau tidak. Bukankah jika tidak berhasil memperbaiki jam dinding yang rusak, waktu tetap saja berjalan? Tidak berkurang sedikit pun?

 
Powered by Blogger