Kamis, 18 Februari 2010

Moderasi

Satu bulan lagi. Cukup singkat waktu yang disediakan Allah untuk mempersiapkan segala sesuatu demi mengikuti keinginan hati nurani untuk menjadi seorang abdi negara. Pada akhirnya, dengan sangat berat hati, pasti akan meninggalkan beberapa hal yang sangat disayangkan untuk ditinggalkan. Inilah saatnya untuk memilih, menentukan arah hidup yang berpedoman pada kompas jati diri. Kedua ujungnya akan selalu menunjuk ke dua arah, utara dan selatan. Dua arah, yaitu menuju arah yang dituju, dan arah yang harus ditinggalkan. Meski untuk sementara, tapi setidaknya harus siap. Entah bagaimana nantinya, apakah benar-benar terjadi atau tidak. Apakah benar, yang hanya bermodal keyakinan dan sedikit usaha akan mampu bertarung melawan yang memiliki daya sangat kuat, skill yang mumpuni, takdir fisik dan bakat yang dimiliki, dan kisi-kisi suap bermatakan uang untuk menodai intisari keadilan yang hakiki dalam dunia militer.

Bertemu dengan orang yang memiliki pengetahuan luas tentang segala hal, awalnya membuat kita yakin, bahwa dialah satu-satunya teman kita, sementara teman-teman yang lain berada pada predikat di bawahnya. Namun, bukankah manusia adalah senyawa yang tidak diam? Kumpulan saripati kehidupan yang senantiasa berubah, berkembang, bersamaan dengan waktu. Kita tak pernah benar-benar memahami karakter seseorang secara utuh, penuh. Kita bisa menebak, namun tidak bisa menentukan ke mana orang itu akan berjalan.

Semula, kita merasa sendirian, lalu ia datang, dan kita tidak merasa sendirian lagi. Melalui saat-saat menakjubkan dengannya, membuat sejarah dalam kehidupan kita. Tapi, siapa mengira kalau ada saat-saat di mana sebuah pikiran tidak selalu seirama. Kadang bercampur emosi dan ketidaksadaran untuk berkaca. Akhirnya, sesuatu yang biasanya selalu tampak dekat, selalu berdampingan, identik dan terlihat menyatu, ternyata mampu tersamarkan. Rantai jiwa antara keduanya mulai kendur, lalu putus dengan sendirinya. Tidak lagi punya rasa yang sama, tidak lagi memiliki senyum yang sama. Jauh, abstrak, dan terlupakan.

Ternyata benar, kita harus mampu berdiri dengan kaki sendiri. Bahkan bagi yang tidak mempunyai kaki sekalipun, masih harus bisa berdiri dengan tangan, atau sekadar dengan tubuh yang mereka miliki. Tidak baik membebani orang lain terus menerus, apalagi orang yang sebelumnya sama sekali tidak kita kenal. Ideologi sederhana tentang kehidupan tidak perlu dibuka pada semua pembaca blog ini, meski sedikit. Namun, keyakinan harus dibulatkan. Tentang apa yang kita pikir mustahil, atau orang lain pikir terlalu berlebihan dan mengada-ada, sebenarnya adalah tantangan yang harus diambil. Di sini lah pentingnya sebuah cermin. Cermin dari diri sendiri, yang menampakkan posse dalam dan luar dari diri. Cermin dari orang lain, yang kadang benar, kadang tidak, atau kadang tidak mengartikan apapun. Cermin dari sekitar kita, yang ibarat maze dengan dinding penuh kaca berbagai model, ukuran dan warna. Dan cermin yang belum dibentuk, yang ada di depan kita, karena kita tidak akan tahu apa yang ada di baliknya...

Pertama, harus menerima 'diri sendiri' lebih dulu, sebelum menerima yang lain...

 
Powered by Blogger