"Stronger than earth, brighter than sun, but softer than a mist..."
Ini salah satu kawan baru saya di tempat kerja lama yang menjadi tempat kerja baru bagi saya. Pawakannya tinggi tegap. Tubuhnya menyiratkan tulangnya yang kuat. Dari namanya saja, semua orang sudah tau kalau dia puya keinginan yang sangat besar untuk menjadi seorang abdi negara. "Yonif" adalah singkatan dari "Batalyon Infanteri" merupakan satuan dasar tempur pasukan infanteri Tentara Nasional Indonesia (TNI) di bawah brigade atau resimen. Batalyon infantri dapat merupakan bagian taktis dari suatu brigade dan dapat juga berdiri sendiri dengan tugas taktis dan administrasi. Tak ayal ayahnya memberikan nama itu buat dia. Mungkin karena ayahnya memang salah satu anggota TNI-AD, atau nama itu kahir bersamaan dengan harapan yang ditiupkan saat adzan dikumandangkan waktu ia pertama kali menghirup udara bebas.
Dari wajah, kelihatan garang. Buset! Pertama kali ngeliat nih orang, langsung kepikiran, wah pasti ini orang kerjanya mukulin orang. Beuh! Tapi itu ternyata benar. Dia adalah seorang bodyguard. Seorang bodyguard yang tangguh untuk seseorang, yang meluluhkan baja di dalam hatinya. Meredupkan api yang sempat menyala-nyala di batinnya. Atau sekedar menyulapnya menjadi seperti kambing yang dipelihara dengan baik. Untuk nanti diambil tanduk yang merupakan satu-satunya senjata baginya. Diambil dagingnya untuk dimakan. Atau dikuliti terlebih dahulu untuk dijual menjadi jaket eksklusif berharga tinggi.
Bukankah setiap manusia pasti punya kisah cinta mereka masing-masing? Begitu juga kamu, kawan. Si Yonif ini punya kisah cinta yang menarik. Dia punya cewek yang sangat istimewa. Seorang cewek yang menelusuri profesi yang begitu spesial yang sudah ada sejak jaman raja-raja Mesir Kuno. Pramuria. Bagi saya, biar jadul, tapi istilah itu sangat netral dan tidak menghakimi. Ceweknya Yonif itu memang kerjaannya "menemani laki-laki".
Hhhh... Kota ini dulu kota kecil. "Blitar... kutho cilik kang kawentar..." Tapi ternyata, dunia yang sarat dengan kenikmatan itu nggak cuma ada di Dolly (Surabaya), Gude (Madiun) atau bahkan yang parah adalah Taman Lawang (Kuningan, Jakarta). Malam yang biasanya sepi di Blitar, sekarang semakin gemerlap dan merayu semua mata yang tak biasa terpejam terlalu dini. Itulah fakta, realita yang dulu tabu kini jadi biasa. Cewek Yonif adalah salah satunya. Dan Yonif mungkin bukan hanya salah satu dari laki-laki yang ditakdirkan Tuhan untuk mengenal dan mengikat perasaan sama seorang cewek "penggembira". Yonif Riyadi, seorang pemuda yang dihadapkan pada polemik yang harus mampu ia atasi. Seperi seorang tentara yang ditugaskan di tempat terpencil tak berpenduduk. Tapi ia harus berjuang bagaimana membuat tempat itu "hidup".
Berapa gelintir laki-laki yang mampu mencintai wanita yang sudah pernah menikah, punya anak, dan sekarang menjadi seorang "penggembira"? Mungkin banyak yang bertanya, seperti apa hatinya? Apakah sekeras baja? Sekuat benteng? Bukan. Yonif cuma bilang ke saya kalau dia hanyalah "Yonif". Dia masih sangat muda. Masih banyak cewek-cewek yang lebih muda darinya yang bisa dia dekati. Pilihan. Itulah jawaban Yonif. Tapi rahasia yang belum sempat saya ungkap adalah, gimana Yonif bisa mencintai cewek itu? Ahh, pertanyaan bodoh. Seperti bertanya, kenapa air itu tak bisa dipegang? Mungkin ada misi yang ingin dia perjuangkan. Atau mungkin cuma sekedar "cinta".
"Han... Aku ada booking malem ini... anterin ya...,"
"Iya..."
Subhanallah, kekuatan seperti apa yang membuat laki-laki seperti ini bisa berkata "iya"? Terhipnotis? Bukan? Kena pelet? Apa lagi. Dia cuma "Yonif".
Segalanya sudah dia berikan ke cewek itu. Waktu, keringat, hati. Sering Yonif merasa kalau dirinya itu begitu bodoh dengan apa yang sudah dia pilih. Tapi apakah kita berhak menyalahkan kondisi di mana kita tidak memilihnya? Bahkan menginginkannya pun tidak. Menerima. Menjalani. Yonif masih terus bertahan, meski harus merelakan tubuh orang yang dicintainya dinikmati banyak laki-laki. Awalnya, saya berpikir, ngapain juga si Yonif ngurusin cewek kayak gitu? Awalnya saya menyalahkan. Tapi sebagai teman, saya nggak punya hak untuk menghakimi. Awalnya, yang ada dalam pikiran saya soal cewek Yonif cuma kebencian dan rasa jijik. Tapi apakah saya pantas untuk membenci atau bahkan jijik pada sesama manusia?
Setiap orang punya pilihan masing-masing untuk menjalani hidup. Saya masih ingat satu kutipan dari film "Perempuan Berkalung Sorban" : "Hanya orang-orang yang tidak pernah melakukan dosa, berhak melempari pezina dengan batu dan api." Kalau semua wanita yang seprofesi dengan cewek Yonif disalahkan, dirajam dan dizalimi, bukankah sudah tak ada harmonisasi antar sesama manusia? Mereka juga manusia. Selama itu nggak merugikan dan mengganggu kita, apakah kita berhak menghakimi mereka? Halo? Negara ini bahkan nggak bisa memberi makan buat semua warga negaranya! Uang saja perlu dibeli.
Menjadi seorang "pramuria", bagi cewek itu bukan pilihan. Tapi kebutuhan. Di sisi ini, bagi saya, alasannya bisa diterima. Mungkin jalannya keliru, tapi bukankah Tuhan itu Maha Adil bagi setiap hambaNya? Mungkin bagi orang-orang seperti ceweknya Yonif, sebuah kebaikan yang terlihat sangat kecil bagi kita, adalah sebuah keajaiban yang luar biasa baginya.
Itulah yang mungkin coba dilakukan sama Yonif. Memberikan keikhlasan yang nyata. Berapa ribu kali ia seakan disakiti, tapi ia nggak merasa sakit. Berapa kali ia dihadapkan pada situasi di mana ceweknya harus bercumbu dengan laki-laki lain di depan matanya? Berapa kali itulah mungkin dia harus mengumpat dengan kata "DANC**" dalam hatinya. Bukankah itu sangat wajar? Laki-laki ini adalah harapan bagi keluarganya. Tapi laki-laki ini juga sebuah harapan bagi ceweknya... Saya bangga masih diberi kesempatan mengenal Yonif. Dialah pejuang yang tak kenal lelah demi "negeri" yang dicintainya. Dialah tentara yang rela mengorbankan segalanya demi "bangsa" yang dilindunginya...