Satu banding seribu, pemuda-pemuda yang mampu menjadi anggota marinir, yang berasal dari keluarga berduit seret dibanding dari kaum dompet emas. Tapi intinya, bukan itu yang membuat iri, lebih pada pertanyaan soal takdir.
Tidak semua manusia lahir sempurna dengan tulang kuat bagai baja, tumbuh pesat karena asupan gizi sempurna, dan memiliki sesuatu karena meminta. Tentu saja masih banyak yang punya fisik lemah, perkembangan tubuhnya lambat, dan sudah dikenalkan tentang bekerja untuk hidup meski belum masuk usia taman kanak-kanak.
Perbandingan soal materi sekiranya tak pantas disebutkan, kalau ingin hidup yang lebih mapan. Barangkali tak ada gunanya. Tapi, yang namanya masih "anak-anak", normalnya, pasti ingin punya banyak sesuatu. Apalagi, kalau sudah menyangkut masa lalu yang tidak begitu baik. Akan ada banyak air mata daripada sapuan senyum.
Ada cerita yang cukup mencegangkan. Ada seorang pemuda desa pedalaman, yang selalu disibukkan oleh puluhan domba milik majikannya. Terlahir dari sepasang suami istri sebagai buruh tani, membuat ia menghargai butir demi butir padi yang dibawa emak bapaknya sepulang mereka kerja.
"Mbeta napa, Mak?" tanya si anak dengan girang.
Sambil tersenyum, si emak membuka bungkusan kresek warna hitam.
"Alhamdulillah, oleh telung puluh kilo, Le..."
"Bapak yo nggawa tela sepe," tambah sang bapak sambil menurunkan paculnya.
Si emak akan merebus sebuah ketela, dan memasak seperempat kilo beras yang ia dapat dari sisa panen. Tiga puluh kilo beras, untuk empat bulan ke depan. Berarti emak hanya mampu memasak nasi dari seperempat kilogram beras setiap harinya. Seperempat kilogram itu jelas tidak cukup dimakan empat orang, sebanyak dua kali. Makanya, dicampur dengan ketela, biar kelihatan agak banyak. Paling tidak, emak, bapak, si anak laki-laki dan kakak perempuannya.
Si anak laki-laki yang belum genap 2 tahun itu sedang bermain perahu-perahuan bersama teman-temannya. Ia memungut daun pohon bambu yang sudah kering, pangkalnya digulung ke depan, lalu tangkai pangkal daunnya ditancapkan di hampir ujung pucuk daun. Ia dan ketiga teman sebayanya siap mengadu perahu mereka di arus sungai kecil di belakang rumah.
Anak-anak yang lebih "besar" bermain perahu dari bekas selongsong kelapa. Lebih kuat, besar dan punya layar dari kain tipis.
"...nenek moyangku, orang pelaut... gemar mengarung luas samudera... menerjang ombak tiada takut... menempuh badai sudah biasa..."
Si anak bertanya-tanya, kenapa perahu yang bocor bisa tenggelam? Kenapa layar yang lebih miring ke belakang dan satu sisi lebih kencang lajunya? Ia belum menemukan jawabannya. Hanya bermain perahu...
Elemen-elemen air sudah benar-benar menyatu di sanubari anak itu.
Aroma tantangan di tengah ombak sudah tercium dari nyanyiannya.
Hanya bermain perahu...
(bersambung)