Rabu, 26 Mei 2010

(1) Hanya Bermain Perahu

Beberapa jam lalu, baru saja membaca berita 10 lulusan AAL yang diangkat menjadi penerbang muda. Pawakan mereka tinggi tegap, seperti kriteria postur sempurna untuk Kadet AAL. Seragam putih mereka tampak sempurna membalut kesempurnaan raga mereka. Ketangguhan raga, kemakmuran ekonomi, ketangkasan gerak, kecemerlangan intelegensia, darah genetika, warisan ayah yang seorang perwira, atau "takdir"?

Satu banding seribu, pemuda-pemuda yang mampu menjadi anggota marinir, yang berasal dari keluarga berduit seret dibanding dari kaum dompet emas. Tapi intinya, bukan itu yang membuat iri, lebih pada pertanyaan soal takdir.

Tidak semua manusia lahir sempurna dengan tulang kuat bagai baja, tumbuh pesat karena asupan gizi sempurna, dan memiliki sesuatu karena meminta. Tentu saja masih banyak yang punya fisik lemah, perkembangan tubuhnya lambat, dan sudah dikenalkan tentang bekerja untuk hidup meski belum masuk usia taman kanak-kanak.

Perbandingan soal materi sekiranya tak pantas disebutkan, kalau ingin hidup yang lebih mapan. Barangkali tak ada gunanya. Tapi, yang namanya masih "anak-anak", normalnya, pasti ingin punya banyak sesuatu. Apalagi, kalau sudah menyangkut masa lalu yang tidak begitu baik. Akan ada banyak air mata daripada sapuan senyum.


Ada cerita yang cukup mencegangkan. Ada seorang pemuda desa pedalaman, yang selalu disibukkan oleh puluhan domba milik majikannya. Terlahir dari sepasang suami istri sebagai buruh tani, membuat ia menghargai butir demi butir padi yang dibawa emak bapaknya sepulang mereka kerja.

"Mbeta napa, Mak?" tanya si anak dengan girang.

Sambil tersenyum, si emak membuka bungkusan kresek warna hitam.

"Alhamdulillah, oleh telung puluh kilo, Le..."

"Bapak yo nggawa tela sepe," tambah sang bapak sambil menurunkan paculnya.

Si emak akan merebus sebuah ketela, dan memasak seperempat kilo beras yang ia dapat dari sisa panen. Tiga puluh kilo beras, untuk empat bulan ke depan. Berarti emak hanya mampu memasak nasi dari seperempat kilogram beras setiap harinya. Seperempat kilogram itu jelas tidak cukup dimakan empat orang, sebanyak dua kali. Makanya, dicampur dengan ketela, biar kelihatan agak banyak. Paling tidak, emak, bapak, si anak laki-laki dan kakak perempuannya.

Si anak laki-laki yang belum genap 2 tahun itu sedang bermain perahu-perahuan bersama teman-temannya. Ia memungut daun pohon bambu yang sudah kering, pangkalnya digulung ke depan, lalu tangkai pangkal daunnya ditancapkan di hampir ujung pucuk daun. Ia dan ketiga teman sebayanya siap mengadu perahu mereka di arus sungai kecil di belakang rumah.

Anak-anak yang lebih "besar" bermain perahu dari bekas selongsong kelapa. Lebih kuat, besar dan punya layar dari kain tipis.

"...nenek moyangku, orang pelaut... gemar mengarung luas samudera... menerjang ombak tiada takut... menempuh badai sudah biasa..."

Si anak bertanya-tanya, kenapa perahu yang bocor bisa tenggelam? Kenapa layar yang lebih miring ke belakang dan satu sisi lebih kencang lajunya? Ia belum menemukan jawabannya. Hanya bermain perahu...

Elemen-elemen air sudah benar-benar menyatu di sanubari anak itu.
Aroma tantangan di tengah ombak sudah tercium dari nyanyiannya.
Hanya bermain perahu...

(bersambung)

Senin, 17 Mei 2010

So lets crawl...



Everybody see's it's you
I'm the one that lost the view
Everybody says we're through
I hope you haven't said it too

So where
Do we go from here
With all this fear in our eyes
And where
Can love take us now
We've been so far down
We can still touch the sky

If we crawl
Till we can walk again
Then we'll run
Until we're strong enough to jump
Then we'll fly
Until there is no end
So lets crawl, crawl, crawl
Back to love, Yeah
Back to love, Yeah

Why did I change the pace
Hearts were never meant to race
I always felt the need for space
But now I can't reach your face
So where
Are you standing now
Are you in the crowd of my faults
Love, can you see my hand?
I need one more chance
We can still have it all

If we crawl...
Till we can walk again
Then we'll run
Until we're strong enough to jump
Then we'll fly
Until there is no end
So lets crawl, crawl, crawl




Ketika Anda atau saya menemukan sesuatu yang mampu membangkitkan semangat, pasti rasanya kita seperti terjatuh dari tempat yang tinggi, terhempas, dan kemudian menghela napas, memejamkan mata, lalu tersenyum penuh rasa syukur.

90 hari menyiapkan segalanya untuk bisa masuk menjadi 1 dari 800 orang yang mendaftar menjadi calin abdi negara tingkat II di tubuh TNI, ternyata sangat berat. Pertama, harus bolak-balik karena berkas kurang lengkap. Kedua, harus melepas kesempatan pertama karena masih harus berkutat dengan pekerjaan. Itu tanggung jawab. Ketiga, saat semuanya sudah siap, tinggal berangkat, tapi terkendala dengan perasaan berat. Tegakah Anda, di saat teman-teman Anda bekerjasama untuk sebuah pencapaian, lantas Anda memilih untuk tidak ikut karena ingin mengejar mimpi Anda sendiri? Yah, meski saat itu teman-teman mungkin saja tidak butuh bantuan kita, tapi apakah tega melihat mereka berkiprah hingga larut malam dan tak punya waktu istirahat yang cukup? Akhirnya, memilih untuk tetap tinggal dan membaur dengan mereka menjadi pilihan. Dalam pikiran saya, toh, pendaftaran masih berakhir 4 hari lagi.

Sampai di tempat yang dituju untuk mewujudkan hasrat, ternyata kesempatan itu sudah tertutup. Seandainya saya tidak ikut membantu teman-teman kemarin, pasti saya masih sempat. Tapi, ahhh... saya pikir kok picik sekali saya menampar teman-teman saya dengan statemen seperti itu. Akhirnya, alhamdulillah... Itulah kata yang membuat hati dan jiwa ini kembali subur. Memunculkan kuncup-kuncup baru yang segar dan siap mekar. Paling tidak, Tuhan masih Berkenan Memberikan nafas, kesempatan hidup yang masih bisa dimanfaatkan. Selama masih mampu berusaha, kenapa harus berhenti?

Itulah... merangkak... "crawling"...

Hanya butuh untuk merangkak sejenak, sebelum siap untuk berjalan kembali. Lalu akan ada waktu untuk berlari, sampai ada kekuatan yang cukup untuk bisa melompat dan mencapai langit.


Meski tak punya tubuh sekuat baja, tak memiliki otot segempal binaraga, tak bisa lebih tinggi dari perwira, atau tak jauh lebih pintar dari sarjana, hanya dengan menyimpan semangat, kemauan untuk mampu, niat mengabdikan diri pada negara, iman taqwa dan tentu saja restu serta doa. Cukup itu saja bekal yang diperlukan untuk meraih impian bintara. Selanjutnya, tawakal. Berhasil atau tidak, itu hak dari Yang Maha Kuasa atas segalanya...

Jalesveva jayamahe!!!





 
Powered by Blogger