Libur satu hari bisa terasa sangat lama. Atau sebaliknya. Mendapat cuti satu minggu, rasanya cepat sekali kembali dengan setumpuk pekerjaan. Waktu memang sejak dulu menguasai. Sampai kali ini pun, manusia yang berbangga menyebut dirinya makhluk paling sempurna di muka bumi ini, belum mampu membuat alat yang mampu menghentikan waktu meski cuma satu detik, atau memperlambatnya sepersekian detik, apalagi mengulangnya.
Sembilan belas tahun bagi orang yang sudah melewatinya, akan terasa begitu cepat. Beda dengan yang sekarang masih berusia di bawah 18 tahun. Orang dalam opportunity kedua ini hanya mampu berangan. Sementara orang dalam opportunity pertama tadi, cuma bisa menengok catatan masa lalunya.
Ingat kembali...
Sembilan belas tahun sembilan bulan lalu, kurang lebih, tubuh ini masih belum terbentuk. Belum ada ruh. Hingga Sang Khaliq memerintahkan ruh ini hadir dan berkembang, hidup di rahim yang hangat, nyaman dan aman. Menyusu pada sari-sari yang dimakan atau diminum oleh satu-satunya orang yang memberikan kasih sayang terluas dan terikhlas, ibu. Meski setiap malam, kaki kecil dan rapuh ini menendang bagian dalam perutnya. 'Sebuah' janin yang tidur dengan nyaman, tapi tidak membuat nyaman yang mengandungnya.
Ingat kembali...
Saat tubuh ini meluncur dari persembunyian. Keluar dan bersentuhan dengan oksigen serta senyawa-senyawa lainnya. Masih terlalu kecil untuk membuka mata. Masih terlalu mini untuk tahu segala hal yang jauh lebih besar. Hidup. Hidup lagi.
Ingat kembali...
Masa kecil yang urakan. Waktu TK, saat masih bisa telanjang di bawah guyuran hujan. Dengan 'pe-de'nya mengusap 'ingus' dengan tangan (disebut : "ngelap umbel"). Bermain kejar-kejaran di lapangan. Mencuri mentimun dan tomat di kebun milik orang lain karena kehausan sehabis pulang sekolah bersama teman-teman. Mandi bersama di sungai, bersama anak-anak lain, bersama kerbau dan penggembalanya. Bertarung di medan 'perosotan' tanah. Meluncur bergesekan dengan bumi, sampai celana bagian 'bokong' berlubang. Belajar mempertahankan diri. Belajar melindungi diri. Belajar melawan. Berkelahi dengan anak dari 'gank' lain. Sampai seragam putih-merah menjadi merah-merah.
Ingat kembali...
Masa SMP, masa puber. Tau yang namanya baju bagus, baju keren dan ga' keren. Tau yang cantik dan yang ganteng. Tau yang boleh dan tidak. Tapi, cuma satu. Kesenangan.
Ingat kembali...
Seragam putih abu-abu yang sekarang udah berwarna-warni kena pilox waktu lulusan. Begitu susahnya ibu dulu menjahitnya. Begitu susahnya dulu bapak mencari uang untuk bisa masuk sekolah. Sekarang cuma jadi pajangan, penuh coretan kenangan, dan usang. Dari yang cuma tau cantik dan tampan, saat itu mulai tau cover depan saja. Belum waktunya membuka isi di dalamnya. Belum juga masanya untuk bisa mengartikan apa yang ada di dalamnya. Tapi, namanya juga anak muda 'gheto loch'! Daripada disuruh belajar mapel, pasti lebih memilih belajar cinta. Ga' munafik kok. It's so natural!
Kini waktunya membentuk yang masih abstrak. Menata yang semula berantakan. Bukan waktunya lagi buat cuma main-main. Bukan waktunya juga buat menikmati hidup. Tapi membentuk. Banyak yang sudah mulai membentuk sebelum waktunya membentuk. Banyak yang sudah mencuri start. Tapi banyak juga yang terlambat membentuk. Tapi itu lebih baik, daripada tidak membentuk sama sekali.
Ada orang-orang baru yang harus dihadapi. Begitu pula, ada orang-orang lama yang ditinggalkan, meski tidak ingin dilupakan. Matahari itu diam, bumi yang bergerak. Tapi kenapa justru kita yang merasa, bahwa kita yang diam di tempat, dan matahari yang bergerak memutar? Sama halnya dengan kaki yang berjalan, padahal kita merasa bumi yang kita pijak ini tak bergerak. It's so natrural!
Selalu ada kesempatan untuk memperbaiki yang telah rusak. Entah berhasil atau tidak. Bukankah jika tidak berhasil memperbaiki jam dinding yang rusak, waktu tetap saja berjalan? Tidak berkurang sedikit pun?
1 komentar:
yeah, that what a life is. always round and round. just like a rollercoster.
the past is death
the future is imagination
happiness can only be reached by this present momment
and in the future, our writings could be memmories that remind us about the path we've been through
Posting Komentar