Kamis, 10 Desember 2009

PROLOG DUA PULUH DELAPAN


Laki-laki berpawakan tegap. Tubuhnya tinggi menjulang, 183 cm. Wajahnya keras dan berani. Seberani langkahnya yang mantap, siap menerjang gelombang di depannya. Inilah lelaki yang kutafsirkan sebagai lelaki terindah setelah kubaca satu novel karya penulis favoritku, dan favorit kaum "G" tentu saja.

16 Maret. Dia sudah menunggu begitu lama di ruang tamu rumahku. Memandang lukisan-lukisanku yang memang kutujukan untuk dirinya. Alisnya yang lebat dan hidungnya yang mancung sangat dominan, tapi tak sedominan bibirnya yang merah. Seperti mawar yang baru mekar, dan siap untuk diambil sarinya.

Aku selesai mengemasi barang-barang, lalu menuju ruang tamu. Ia melihatku, dan langsung berdiri. Menegapkan badan hingga kelihatan sekali otot-otot dada dan perutnya mengembang. Lengan dan dada yang sangat didambakan "lelaki lain" untuk disinggahi.

"Tante, kami berangkat. Tidak perlu cemas. Saya akan antar Ujiek besok lusa," katanya tegas namun sopan.

Lalu ia menjabat tangan ibuku, setelah terlebih dahulu aku mencium tangan ibuku. Dia melangkah di depanku. Seperti benteng kokoh yang melindungi putri raja di dalamnya. Kami berangkat menuju Surabaya, tempat ia bekerja, tempat ia akan membuat ending yang bagus untuk hubungan kami.

Selama di perjalanan, kami mengingat-ingat kembali masa-masa yang telah kami jalani. Rasanya seperti berusaha menguak kisah lalu, sebelum kisah itu berakhir.

"...4 tahun lalu, aku kenal kamu..." suaranya berat, setelah tertawa karena sebelumnya kami bercanda.

"Iya, mas. Lama banget! Kita udah ngelakuin banyak hal," balasku.

"Ngelakuin apaan?"

"Nggak ngelakuin apa-apa. Bukankah "apa-apa" itu sudah lebih banyak daripada "apa"?"

***

Sampai di Surabaya. Hujan begitu lebat di seputaran jalan arteri di Kota Pahlawan ini. Tiba di sebuah rumah gedongan bercat putih, aku bisa melihat pagar yang terbuat dari tanaman yang dipangkas sangat rapi.

Pintu pagar yang basah itu terbuka, membawa mobil masuk ke tepi tangga ruang depan. Aku sedikit pusing. Entah, mungkin karena aku terlalu menikmati perjalanan ini dengan banyak ngomel.

Ia basah. Seluruhnya. Karena ia sedang mandi. Bilik kamar mandinya yang terbuat dari kaca sangat bening, tidak akan menutupi satu senti pun dari kulitnya. Jika aku sama seperti "yang lain", tentu akan langsung kutembus bilik itu, dan kunikmati apa yang ada di dalamnya. Tapi aku berbeda. Ia memang lelakiku, dan aku wanitanya. Ia sangat menjagaku. Menjaga hubungan kami selama hampir 4 setengah tahun dengan begitu baik. Karena dialah lelaki terbaik yang pernah kumiliki.

Melihat dia selalu on-time menjalankan kewajiban ibadahnya, selalu ada rasa kasihan dariku. Lelaki sesempurna ini, ternyata memiliki cacat yang sangat besar. Lelaki yang begitu didambakan banyak orang, seorang co-pilot handal yang dikagumi pramugari dan perusahaan penerbangannya, memiliki harga yang sangat tinggi, tapi memilih barang dengan diskon yang paling besar.

Terlalu banyak cumbuan, ciuman, kelamin dan kulit yang sudah terbentuk dalam hubungan seperti ini. Tapi kami tidak!

Pandangan terhadap kesempuarnaan raga, ketampanan paras, kejantanan otot dan keperkasaan daya pria adalah game yang harus segera dimainkan. Tapi kami tidak!

Stat, top, bottom, seperti stempel dengan banderol harga yang berbeda dari setiap model dan jenis barang. Membanggakan permainan ranjang antara dua insan yang sama kuat, sama sempurnanya bertarung. Bergulat seperti tontonan sirkus tak berwajah. Tapi kami tidak!

Selanjutnya, akan sangat lengkap di dalam novel.

***




Meja kaca bundar itu merefleksikan bayanganku sendiri. Panasnya Surabaya, dan dinginnya blueberry-chic, nikmat sekali. Ia menyuruhku duduk di sini, sendirian. Kupikir ia sangat tergesa-gesa, sampai-sampai ia tidak sempat melepas seragamnya.

Tapi, sekarang aku sudah bisa melihat seragamnya lagi. Masih bisa kudengar tarikan nafasnya yang dalam. Ia membawa seseorang, asing, dan cantik.

Ia duduk di sampingku, aku duduk di sampingnya, dan cewek cantik itu duduk di depan kami berdua. Semenit, sepuluh menit, setengah jam, aku berusaha mengobrol dengan cewek yang ada di depanku. Kami berdua sudah kelihatan sangat akrab. Lalu lelaki yang ada di sampingku menyela perbincangan asyik kami.

Ia memandang ke arah cewek cantik di depanku dan di depannya. Memanggil namanya.

"Nis...,"

Aku melihat cewek bernama Annisa itu masih tersenyum dan menyaut lembut.

"Ya...,"

Lelaki di sampingku merangkul bahuku. Sangat gugup dan bisa kurasakan tangannya begitu gemetar.

"Kenalin..., ini 'cewek'ku..."

Saat itu, panas masih terik. Ruangan berdinding kaca itu masih bisa memberikan siluet antara seorang perempuan berkerudung yang sangat cantik sedang duduk terpaku, di depan dua orang lelaki yang ada di depannya...

***

(to be continued)

4 komentar:

d'anderson mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
d'anderson mengatakan...

alo gerry ..

ini cuplikan dari novel lelaki terindah ya, pernah sempet denger dan liat jg di toko buku, dari covernya sih dah dikit menyimpulkan kandungannya. ditunggu ulasan yg lainnya. =)

Rosi Atmaja mengatakan...

hem what should I say ya??????
emmm
emmm
emmmm
pokoke don't be too much nginget soal masa lalu itu sebelum ia menenggelamkanmu, key?
he changed, and now is your turn to change too.
semangaaaaddd
eh, spirittt

NOOR'S mengatakan...

Kunjungan perdana, maaf belum bisa baca postingannya...soalnya dah ngantuk neh... saya juga mengundang mas Gerry untuk mampir di http://hanyailusi.blogspot.com,salam hangat persahabatan

 
Powered by Blogger