Jumat, 01 Januari 2010

Refleksi Kesejatian Diri

 
Waktu pertama kali melihat sebuah film yang disutradarai oleh Tony Bancroft dan Barry Cook, dari kisah yang dituliskan oleh Robert D. San Souci dan Rita Hsio, bertitel Mulan. Film ini pertama kali rilis pada 19 Juni 1998 lalu, yang merupakan feature animasi ketiga puluh enam dari Wall Disney Animated Classics. Awalnya, kisahnya 'based on' dari sebuah legenda China, Hua Mulan.

Meski hanya animasi, jujur, saya selalu mengagumi karya orang-orang Barat yang mampu menghias hal-hal sepele dengan polesan 'lebay' tapi so touched. Mulan, pada awalnya hanya gadis China biasa yang sela
lu merasa bahwa dirinya sedikit berbeda. Tak jauh berbeda dengan Indonesia sendiri, layaknya Raden Ajeng Kartini, yang harus hidup di bawah kungkungan feodal. Dipaksa mengikat diri sendiri, dan dianggap tidak ada predikat yang lebih mulia daripada menjadi seorang "istri" yang baik. Jiwa saya yang dulu masih berpetualang, sempat memasuki dunia lain yang mungkin dialami orang-orang transgender lainnya.



"... who is that girl I see?
Starring straight back at me
Why is my reflection
Someone I don't know?"


Petikan syair yang dilantunkan Christina Aguilera dalam tajuk "Reflection" yang menjadi Original Soundtrack Mulan di atas mewakili apa yang dirasakan oleh seseorang yang tengah bingung mencari kesejatian jiwanya. Seperti saya atau mungkin Anda yang membaca, mungkin saja juga mengalami hal yang hampir sama meski dalam fragmen yang berbeda.

 

Dibesarkan dengan sangat normal dari keluarga yang normal. Cara-cara orang tua mendidik pun sarat dengan petuah agama. Apakah karena dulu, sejak TK, selalu bermain dengan anak-anak perempuan? Bermain boneka, "pasaran", atau rumah-rumahan. Itu permainan yang normal. Boneka itu lucu, sebuah replika nyata dari manusia atau hewan yang bisa dimainkan sesuka pemainnya. Bahkan, dianggap teman yang selalu menemani waktu tidur, karena bisa dipeluk dan diciumi.

"Pasaran". Itu permainan tradisional yang sampai sekarang pun masih sering dijumpai. Main masak-memasak, atau sekadar berjualan aja. Itu juga sangat menarik. Karena bisa belajar untuk berwirausaha. Mulai berbelanja (mencari daun-daun dan biji-biji dari kebun atau "tegalan"), mengolahnya layaknya sayuran dan bumbu-bumbu (yang terbuat dari tanah dicampur air), membuat menu-menu yang bervariasi (pecel daun ketela dengan sambal dari tanah merah, rujak dari gedebog pisang, atau es campur dahsyat dari campuran kerikil, belimbing wuluh hasil curian dan kelopak bunga mawar). Semuanya alami. Bahkan saat transaksi, uang yang digunakan pun dari daun yang diberi tulisan angka nominal. Boneka dan main "pasaran" adalah rutinitas saat bersama teman-teman cewek.

Saat waktunya main sama kawan-kawan cowok, jiwa yang dirasa sangat sesuai dengan anugerah fisik yang ada saat ini memang sangat mendukung. Mulai bermain bola waktu hujan, maen perosotan sampai celana seragam bolong di pantat, balapan sepeda dan berantem sama anak-anak dari geng sekolah sebelah, mencuri timun di kebun dekat sekolah, "ciblon" di sungai bersama kerbau, dan masih banyak yang lainnya. Di situlah, saat-saat jiwa merasa utuh, penuh dan tidak terbagi.

 

Kebanyakan, orang-orang yang memiliki jiwa seni yang tinggi dicap sebagai pribadi yang eksklusif dan susah diatur. Serta, lebih banyak menggunakan sisi mimpi dan hati dibandingkan sisi fakta dan logika. Padahal, pelukis ternama Leonardo Da Vinci (dari bukunya Mbk Rosi Atmaja) dikenal karena kejeniusannya dalam memecahkan teka-teki angka matematis yang hasilnya berbuah fantastis. Terbukti dari karya-karyanya (Monalisa dan The Last Supper) yang sangat detail sehingga menghadirkan sebuah kontroversi yang belum terkuak dengan sapuan pilgrimatik dan lembut namun begitu dalam.

19 tahun mencari kesejatian diri, dan kini tinggal menapaki jalan baru untuk menemukan mahkota yang selama ini susah payah untuk ditemukan. Hua Mulan rela menyamar sebagai prajurit laki-laki karena tidak tega melihat ayahnya yang sudah tidak mampu mengabdi kepada negaranya. Bahkan, Mulan berusaha, untuk sehebat laki-laki hebat. Dengan kecemerlangan otaknya, ia mampu berpikir solutif, cara yang sangat jarang dilakukan oleh laki-laki saat kondisi emergency. Tapi Mulan sempat terancam akan dibunuh saat kedoknya sebagai perempuan terbuka. Hampir terbunuh, di tangan orang yang sangat dicintainya.

 

Refleksi dari keperkasaan di balik lembutnya aura wanita di dalam diri Mulan dan pahlawan-pahlawan wanita yang lain (yang lebih nyata) tentunya yang membuat feodalisme dan diskriminasi gender kian terbuka.




Baru sebulan lalu keinginan untuk menyempurnakan tekad menemukan kesejatian jiwa menjadi sangat kuat. Hasrat yang begitu menggebu yang dimulai dengan pilihan untuk hidup sendiri, jauh dari orang tua semenjak lulus SLTA. Kemandirian yang sengaja dibentuk, dan niat untuk meninggalkan dunia 'aneh' yang di dalamnya hanya terdapat fase-fase abstrak yang rumit, semoga menjadi semakin jelas terbentuk. Sebenarnya bukan karena ingin diakui sebagai anggota AURI, personil TNI AD, AL atau AU dengan pangkat dan kedudukan. Namun lebih pada keberhasilan meraih kesejatian diri, meski dengan tantangan yang amat berat dan berpeluang untuk menyerah atau berjalan terus. Karena refleksi adalah sama halnya dengan membentuk sebuah pilihan. Dua, tiga, puluhan atau ribuan pilihan yang disediakan, tentu berujung pada satu keputusan yang mewakili kesemuanya. Keputusan yang perlu diperhitungkan tentang keberhasilan dan kegagalan, konsekuensi dan memelihara semangat jika sewaktu-waktu terjatuh, agar mampu bangkit kembali.


1 komentar:

just Rosi mengatakan...

perjalanan yang panjang yah...
kadang kita butuh berhenti sejenak untuk menghela nafas, memutar otak, mengatur strategi, agar bisa melampaui tiap rintangan yang ada. dan jika satu jalan kemudian tertutup, selalu ada plan B,
tetep semangat tapi jangan terlalu memaksakan diri.

 
Powered by Blogger