Senin, 19 Oktober 2009

PROLOG SEMBILAN BELAS


       Dia duduk di kursi taman tua yang sudah mulai berlumut. Siang itu sedikit gelap, karena alam beratapkan awan yang siap mendengungkan bunyi gemuruh, melintaskan kilat, menembakkan petir, lalu memuntahkan air-air hujan. 

       "Hai, mendung! Kau tampak pucat!" 

        Mendung memang sepucat batu di dekat trotoar. 

        Lalu, kilat melintas. Memotret seluruh jagad raya. 

       "Hai, kilat! Pe-De banget loe! Motret ga ijin dulu! Permisi kek, apa kek..." 

       Kilat melintas untuk kedua kalinya. Seperti balasan. 

       "Hai, kilat kedua! Sampaikan maafku untuk kilat pertama. Dan sampaikan pula maafku untuk malaikat Penurun Hujan. Oke?" 

           Lalu gemuruh mengalun membahana. Melingkupi udara dengan suara geram. 

           "Oh, halo, gemuruh! Tumben geramanmu kecil. Nggak kedengaran nih..." 

           Lalu terdengar gemuruh lagi untuk kedua kalinya. Volumenya masih sama. Masih kecil. Belum menggelegar. 

           "Kenapa? Kamu sakit ya, gemuruh? Tangisanmu pasti tidak sekencang kemarin..." 

           Dia menunggu. Masih menerawang ke angkasa. Menunggu sesuatu yang lain datang. Tapi, hanya suara gemuruh, diikuti kilat sesekali. Belum ada tanda-tanda lain. 

           "Hai, awan, kilat dan gemuruh! Mana kawanmu, petir? Dia kok absen? Atau masih tidur?" 

           Tapi ternyata hujan yang menjawabnya. Rintik-rintik kecil mulai turun. Jatuh satu per satu seperti kristal-kristal dingin yang pecah saat menyentuh bumi. 

            Dia tetap duduk di kursi yang sama. Dengan posisi yang sama, dan dengan raut wajah yang sama. 

            Lalu decit rem mobil menggertaknya. Sebuah mobil merah menyapanya dengan pelan. Seorang lelaki keluar dari dalamnya. Dia masih bisa melihat lelaki itu dengan jelas, meski matanya pedih diguyur hujan. Mengamuflasekan air matanya. 

            "Dik, kamu kehujanan. Ayo..." 

             Kemudian lelaki itu memeluk tubuh kecilnya. Mengajaknya bangun, lalu membukakan pintu mobil untuknya. 

          Di dalam mobil, lelaki itu mengeluarkan sapu tangan dari dalam saku celananya. Kemudian mengusap wajah orang di sampingnya dengan lembut. 

            "Tadi, lama nungguin aku?" 

            "Lama banget. Sampai aku diejekin sama awan, kilat dan gemuruh..." jawabnya. 

            Sang lelaki menghentikan usapannya, menurunkan tangannya, dan tersenyum pada orang yang ada di sampingnya. Matanya memandang tajam ke arah mata orang yang ada di sampingnya. Kemudian, satu kalimat meluncur dari bibirnya yang merah. 

           "Apakah petir juga mengejek kamu?" 

         "Tidak. Dia tidak datang. Tapi kamu yang datang..." jawabnya dengan bibir dan mata yang masih basah... (to be continued)

0 komentar:

 
Powered by Blogger