Senin, 05 Oktober 2009

Prolog Tiga

GERRY SATYA

Ia terus memandang di balik kacamatanya. Pagi itu. Kembali ia ke sekolahnya. Seperti biasa. Ia membangunkan ayam jago yang dipelihara oleh bapaknya. Pukul empat pagi. Ia lalu melepas kacamata dan mulai mengguyur tubuhnya dengan air hangat yang sudah disiapkan emaknya.

Pukul lima pagi, tas telah siap dengan buku-buku dan dokumen-dokumen penting lainnya. Wortel dan kunci segembok. Kebutuhan belajar selama satu bulan selalu ia bawa setiap hari ke sekolah. Perlengkapan ibadah dan mandi. Semuanya.

Pukul lima lebih lima belas pagi. Sepatunya telah mengilap. Ia menemui piring melaminnya. Menunggu sejenak di dekat tungku tempat emaknya memasak nasi. Dengan senyum yang biasa, sang emak meminta piring melaminnya, kemudian mengambilkan nasi panas dari 'dandang'. Kemudian ia mengambil telur ceplok di wajan, lalu memulai sarapan rutinnya.

Pukul setengah enam, selesai menggosok gigi, ia siap berjalan menembus kabut. Sengaja ngebut meski berjalan kaki. Lima menit berikutnya, ia mendapatkan metromini langganannya. Setengah enam lebih lima menit pagi, hanya ada dia satu-satunya penumpang yang berseragam sekolah. Lainnya sibuk dengan ayam, tempe, kerupuk atau ricuh tawar-menawar antara sesama pedagang yang menuju ke pasar. Lima belas menit ia berkutat di dalam metromini, sampai ia di depan gerbang sekolah yang masih tertutup.

"Pak...!"
"Yo-yo!!! Sik!"

Gerbang akhirnya dibuka. Bahkan, sepanjang jalan di dalam sekolahnya masih dipenuhi daun-daun kering yang basah.

Ia menemui sebuah kandang kecil di depan kamar mandi guru. Ia membuka pintu kecil dari kayu, seekor kelinci mungil berbulu abu-abu meninggikan telinga merah jambu. Ia menurunkan ransel beratnya, lalu mengaduk-aduk dalamnya sampai mengeluarkan sebuah wortel kecil dan memberikannya pada kelinci abu-abu. Setelah memastikan kelinci abu-abu memulai gigitan pertama, ia meninggalkan kandang itu. 

Beralih ke ruangan terkunci. Ia menarik kursi kayu dan memanjatnya. Mengeluarkan segembok kunci dari ranselnya. Tanpa meneliti satu persatu puluhan kunci dalam lingkaran, ia langsung memasukkan satu kunci berwarna merah tembaga ke dalam lubang gembok pintu. Memutarnya hingga salah satu tuas gemboknya terangkat. Membuka sebuah ruangan yang selalu ia rindukan setiap hari... (to be continued)

0 komentar:

 
Powered by Blogger