Jumat, 23 Oktober 2009

PROLOG TIGA PULUH EMPAT


Baru 4 pertemuan...
Malam pertama. Tempat perkenalan yang sama. Balutan jaket manco hijau pastel, dan kneey-jeans serta sandal putih. Berkeliling tak tahu arah, layaknya tak tahu siapa dan apa. Berputar mengelilingi malam, dan akhirnya duduk di bawah atap sewaan.

Mulailah percakapan santai. Seperti melahap hidangan pembuka yang renyah dan manis. Ringan, tapi mengandung makna dalam. Dan harus didalami lagi. Seperti biasa, pertemuan yang sama. Sangat biasa, mengobrol, saling pandang, akhirnya diteruskan ritual-ritual wajib kaum homoseks. Ritual yang biasa. Tak dapat ditolak. Berpagutan menyatu, meniup rambut-rambut halus nafsu, mengecup melintasi pucuk-pucuk hasrat, memeluk separuh tubuh dan segelintir jiwa, mengeluhkan kenikmatan, mereguk seteguk anggur dan ingin menambah seteguk lagi... seteguk lagi... seteguk lagi...


Hingga mabuk. Meresapi batang dan buah kejantanan masing-masing. Tanpa melihat, hanya melumat. Melahap raga hanya dengan geliat.


Tapi yang satu tak mau direnggut. Yang satu ingin merenggut. Kemauan yang tertahan. Namun selalu ada cara untuk membuat singa mengaum, hanya tinggal mengudarakan aroma daging segar. Membiarkannya mengejar.


Aku membiusnya, agar tidak memakanku. Hanya membiarkan ia menyuruhku apa yang ia mau. Menggingit, mengusap, mengguncang magma dengan jemari, hingga harus dengan kekuatan yang cukup besar, agar lahar hangat di dalamnya segera keluar.

Keluar sudah apa yang tersumbat. Lengah, lelah, berkeringat, namun tak ada kepuasan. Hingga pilihan meminta untuk memejamkan mata sejenak. Tidur dalam sentuhan antara punggung dan punggung. Tidak saling menatap, karena terlalu tak berdaya.

Getaran terus membahana, meluapkan apa yang belum selesai ditautkan. Kuraih pori-pori kulitnya dengan sentuhan dingin yang perlu dipanaskan. Ia memberi kehangatan. Membuka katup yang tertutup, tersembunyi di balik dua benua. Meresapinya dengan girang, meliuk-liukkan lidahnya sebagai kunci agar katupnya terbuka. Sebentar lagi, sesaat lagi akan terbuka, tapi perlu melicinkan terowongan yang berdinding kasar dan berukuran sempit dengan sesuatu, agar lebih mulus dijalani. Tak perlu penerangan, karena semua katup telah tertutup sempurna. Tidak memberikan ruang bagi petualang lain. Hanya ia yang merajai ruangan. Melakukan adegan-adegan mesra di atas bait-bait prosa dalam raganya. Berulang-ulang ia melakukan gerakan. Ia hanya tahu akan kenikmatan membujuk magmanya keluar kembali. Hanya itu yang ia harapkan. Tanpa merasakan, apakah terowongan yang baru saja ia lewati berguncang atau tidak. Ia hanya terus membuat dirinya mengerang, tak peduli ruangan itu gelap atau terang. Barulah ia menemukan tempat dan momen yang tepat untuk memuntahkan apa yang ingin ia muntahkan. Perjalanan panjang dan panas membuatnya mual dan lemas lagi. Kemudian, tanpa memandang jalan yang baru ia lewati, tak melihat kondisinya utuh atau runtuh, ia terlelap.


Malam kedua. Seperti yang biasa, seperti yang lainnya. Ia ingin tahu, "what inside". Namun bahkan ia tidak mengerti apa yang ada sebelum "what inside". Ia sama saja, menilai suatu hal dengan bertanya. Mengetahui makna setelah mendapatkan jawaban. Atau, berusaha mengerti sesuatu yang sulit ia mengerti. Karena aku tidak akan pernah memberikan jawaban untuknya. Ia mengenalkan dunianya ke duniaku, padahal aku sudah memiliki dunia itu. Tapi ia tidak bisa masuk dalam duniaku. Bukankah manusia selalu berpaling, berusaha mengubur hal-hal buruk yang telah dilakukannya? Sudah kubilang berkali-kali dalam pesan yang tidak pernah ia mengerti. Bahwa aku adalah dunia yang berbeda, yang harus dipupuk dahulu sebelum dipetik bunganya, yang harus disucikan dulu sebelum dikenakan. Bukan memetik jika masih ranum, dan menelan jika masih panas.

Malam ketiga. Datanglah ia karena kelelahan menghadapi sifatku. Seperti yang lainnya. Serupa dan sangat sama. Ia sangat lelah, sangat letih. Seperti layaknya saat aku mengganggunya di saat ia menganggap dirinya letih, namun di saat yang lain mengusiknya di waktu yang sama, ia menanggalkan keletihannya. Itulah malam di saat ia mengeluarkan sendiri, tanpa aku harus mengeluarkan. Karena aku tahu, sebuah potret yang ada di depanku ini masih belum bisa menyatu denganku. Sadarku di malam ketiga, meski bungaku telah layu di malam pertama. Namun, layu tidak berarti mati. Ia dapat berbunga kembali, bahkan di tengah gurun tandus sekalipun. Hanya perlu dirawat, oleh orang yang benar-benar ingin merawatnya. Di malam ketiga, ia kulepaskan. Menggenggam pasir terlalu kuat memang justru membuatnya keluar di sela-sela jemari, pelan maupun cepat.

Malam keempat. Malam yang akan menjadi malam-malam berikutnya. Karena betapapun aku mengejar rantai yang terputus, aku akan ketinggalan kesempatan yang lain. Mudah menggunakan rantainya, tapi sulit membuat dan mempertahankan kekuatannya. Terkait satu sama lain antara lingkaran-lingkaran tak sempurna. Jika terputus di satu titik, merugikan bagian yang lainnya. Aku menyanjungnya, karena aku menaruh mahkota besar di kepalanya. Dan tak akan kulepaskan darinya, karena mahkota itu memang kubuat untuknya. Sebuah penghargaan dari kebersamaan tiga malam. Yang harus kulukiskan dengan begitu indah. Meski itu semua susah. Malam berlanjut, hingga pagi bertaut...

"Selamat pagi wahai orang yang tak kukenal tapi selalu kupirkirkan. Lelaki penuh kemegahan karya yang kubanggakan, hingga menutupi ketidakmampuanku melukiskan pesonanya."

"Kusiapkan kanvas tapi selalu pudar. Kuraut pensil, tapi tak pernah bisa runcing. Kugetarkan kuas, tapi selalu patah. Bahkan kubuat warna merah alami yang akan kusapukan dengan darah. Aku siap melukismu, ciptaan agung dari Yang Agung. Tapi kau tak hadir, bahkan hingga darah itu mengering..."
(to be continued)

0 komentar:

 
Powered by Blogger