- ANDREY AKSANA -
Menanti Pelangi
Oleh: Andrei Aksana
Dimuat dalam kumpulan cerpen Rahasia Bulan (GPU. 2006)
Kucari jejakku di tubuhku.
Sisa peluhmu. Derap nafasmu. Bekas gigitanmu di dada dan leherku. Telah kutempuh tamasya berahi itu. Menghakimi setiap jengkal diriku. Menjadikannya tempat menumpahkan bukti kekuasaanmu. Lelehan lengket itu pun masih terserak di selangkanganku. Damn. Baru kusadar. Bukan saatnya aku romantis.
Aku diperkosa.
Lelaki itu mengenakan jas semiformal. Di balik kemeja dengan dua kancing atas terbuka, otot dadanya tampak menggunung, mulus seperti landasan yang mengundang untuk mendarat. Daris wajahnya yang keras, menunjukkan tabuatnya yang suka menguasai, seperti sekarang saat dia mencekokiku dengan kahluia. Gayanya kasar, cenderung meremehkan, membuat siapapun takluk di bawah kharismanya. Juga aku.
"Ayo, minu lagi!" Ia terus menjejalkan gelas ke bibirku.
Aku tidak melawan. Di tengah kepenatan kerja, aku terdampar di kelab malam ini. Tidak lagi sendirian. Karena lelaki yang berdiri di sisiku di bar, terus menggerayang mendekati diriku.
Dan aku tak pernah mengetahui identitasnya, bahkan siapa namanya, berapa usianya, apa pekerjaannya, di mana rumahnya --- semua pertanyaan klise untuk mengenal seseorang. Apakah penting? Mengapa kita tidak pernah bertanya tentang hati yang membuat percaya: Jujurkah? Tuluskah?
Entah sudah gelas keberapa yang kutenggak. Kesadaranku merayap meningalkan diriku. Sebelum aku betul-betul ambruk, lelaki itu dengan sigap memapahku. Tapi sepenuhnya aku mengerti. Mabukku bukan karena busa alkohol. Karisma lelaki itulah yang serupa bius. Meracuni sel-sel otakku.
Aku seperti layangan yang terombang-ambing di udara. Diterbangkan entah untuk apa. Entah untuk kemana. Berputar-putar.
Lalu dunia ini termangu di sini. D ranjang. Berderit-derit.
Lelaki itu mengimpitku. Tanganku terlalu lemah untuk menghalaunya, sehingha malah terkulai memeluknya---seolah berpegangan pada tebing untuk mencari selamat, padahal jurang itulah yang justru siap membuatku tergelincir---bahkan aku tak sempat lagi memekik. Ada yang membobol tubuhku.
Lelaki itu lenyap begitu saja. Seperi udara. Pergi tapi tetap terasakan kehadirannya. Meninggalkanku sendirian di kamar hotel murahan ini.
Terhuyung-huyung aku menerobos kamar mandi. Di bawah pancuran kuhapus semua kenangan tentang dirinya. Kugosok bersih-bersih sekujur tubuhku. Dengan air sabun. Hanya. Itukah yang diperlukan untuk mencuci dosa?
Ketika kuseka tubuhku dengan handuk, kupahami sepenuhnya. Ada yang ta berhasil terhapuskan. Kenikmatan. Kesakitan yang nikmat. Kenikmatan yang sakit. Menjadi candu.
Dan candu itu membuatku tak bisa berkelit. Kita tidak pernah mendendam pada yang pertama memberi kenikmatan, bukan?
Hanya berusaha memahami, mencerna satu pelajaran baru yang memabukkan. Seperti aku yang ketagihan. Menginginkan. Lagi. Dan lagi.
Aku tak pernah mencari lelaki itu untuk menuntut tanggung jawab. Klise. Kupikir ia justru membukakan mataku menemukan dunia yang kucari. Dunia lelaki yang hanya mencari kepuasan. Peristiwa itu memberi sudut pandang baru. Berkencan dengan lelaki lebih mudah dibandingkan dengan perempuan. Ternyata.
Risiko minimal. Tanpa takut hamil. Tanpa cemas dipaksa menikahi. Bahkan tak perlu merogoh dompet. Semua dilakukan atas dasar suka sama suka.
Gelepas itu semakin kuat memukul-pukul dada dan kepalaku. Kebutuhan untuk melakukannya. Mengulangi. Petualangan itu pun dimulai.
Di toilet mal.
Berdiri bersisian di depan urinoar. Diawali kerlingan mata. Saling melihat dan mengukur perangkat masing-masing. Belakangan kutahu istilahnya adalah "saling mencontek". Setelah sama-sama cocok dan melihat situasi aman, kami langsung menyerbu bilik WC yang kosong. Melakukannya sambil berdiri. Duduk di atas closet. Bukan hanya hati kami yang tegang, tapi juga sekujur ujung tubuh kami. Mendebarkan. Memuaskan.
Di kolam renang.
Begitu banyak mata kelaparan. Mulut-mulut yang dahaga. Ada yang bekat menyelam agar bisa berlutut di bawah pinggangku. Aku dibuntuti sampai loket. Berakhir dengan mandi bersama di bawah shower. Basah dalam arti sebenar-benarnya. Terhujani dan menghujani.
Di dalam lift.
Di antara desakan, di balik punggung-punggung yang tak peduli sekeliling, tangan-tangan terampil menyekap celanaku. Jemari-jemari lincah lincah menari di balik risleting. Aku mengerang. Mengaum. Merelakan diriku dimangsa binatang buas bernama laki-laki. Suaraku tertelan hiruk-pikuk arus yang bergegas keluar lift. Kalah oleh kebisingan kota yang tak pernah reda.
Lalu candu itu semakin menggiringku ke dalam lingkaran yang membelenggu. Aku mulai bergaul dengan kaum penikmat. Karena kepuasan ternyata selalu mencari parameter yang lebih tinggi dari waktu ke waktu. Dan aku terperosok ke dalam obsesi itu.
Aku ikut bergerombol, nongkrong di kafe mencari mangsa, terlibat pembicaraan khas mereka. Mencari teman tidur yang ideal.
Harus yang gede, supaya terasa. Lubang hanya bisa disumbat dengan semua yang besar kan? Supaya tidak bocor. Andri, announcer.
Aku mencatat pelajaran baru: size matters. Ternyata bukan cuma perempuan yang membutuhkannya.
Yang pasrah kalo saya apa-apain. Rela jadi boneka saya. Indra, publisher.
Dibutuhkan pihak yang mau dikalahkan. Salah satu harus dominan.
Dia harus bisa menaklukkan aku, karena aku kuda bunal yang harus dijinakkan. Dia harus bisa membuatku serasa remuk dan lumer. Dandy, banker.
Yang suka mukulin pantat eike. Makin keras, eike makin nafsu, booo. Chepi, banci salon.
Tenaga. Kekuatan. Seperti pertandingan. Hanya itu yang memuaskan ego laki-laki.
Stres bikin gue jadi begini. Gue harus mencari penyaluran. Haris, lawyer.
Aku masih tak habis pikir. Selama ini aku salah menilai orang-orang di sekitarku. Di balik kemeja licin, dasi mewah dan jas eksklusif, ternyata mereka menyimpan fantasi liar. Kedudukan, jabatan, popularitas tak menjamin kenormalan pikiran seseorang. Penampilan tak selalu menunjukkan apa yang ada di dalam diri. Apakah kita harus menjadi banci dulu, berdandan seperti perempuan, supaya bisa jujur?
Yang kaku duoong...!!! Yang macho, nggak ngondek... jadi bisa bikin eike merasa aman terlindungi... Gathan, clubber.
Laki-laki sejati yang bisa bikin gue serasa jadi cewek paling happy. Roger, dancer.
Yang bisa mengabdi dan memuaskan saya seperti seorang istri. Pras, aktor.
Gue nyari yag bottom, karena gue top. Dia harus mau dimasukin, kapan pun gue kepingin, dan dia harus pinter ganti-ganti gaya. Tendangan gue hot. Mau nyoba? Jash, marketing executive.
Dan aku termangu mendengarnya. Pantaskah hubungan seperti ini disebut berpasangan? Bukankah hanya segala yang berbeda dan saling melengkapi yang layak dan normatif disahkan berpasangan?Langit dan bumi. Api dan air. Malam dan pagi...
Tapi laki-laki dan laki-laki?
Apakah esensi?
Kalau masih mencari pihak yang diperempuankan, ngapain juga ngeseks dengan sesama laki-laki? Mengapakah masih juga mencari fungsi lawan jenis?
Top dan bottom.
Macho dan ngondek.
Maskulin dan feminin.
Dimasuki dan memasuki.
Perjalanan ini malah membuatku semakin tersesat. Jawaban justru menimbulkan pertanyaan baru. Lebih baik aku tutup mulut. Langitku tetap kelabu.
Sampai aku bertemu denganya. Lelaki yang tak mau kuajak tidur pada saat kencan pertama.
"Ada yang lebih dari seks dalam hubungan seperti ini," ujarnya meyakinkanku. Menepis tanganku yang nakal. Menjauhkan mulutku yang ganas.
Kumulai babak baru. Love matters. Ikatan di antara kami dibangun di atas perhatian dan kasih sayang. Bukan hanya one big shot, saling tukar pandang, grabak-grubuk lalu selesai.
Nilai. Itu yang kurasakan saat bersamanya.
"Sekarang kita telah siap," begitu katanya suatu hari.
Dengan senyum dan tatapan yang membuat seluruh duniaku terasa benderang. Inikah pelangi yang kunanti? Yang mampu menepis mendung dan kabut di hatiku? Yang menjanjikan warna dan nuansa?
Lalu aku dan dia memutuskan check-in di hotel mewah untuk merayakan malam pertama kami, meskipun tak perlu sampai gunting pita segala.
Aku memanjat ranjang. Ia menanggalkan baju. Kami seperti pengantin baru yang siap mereguk madu kemesraan. Ia merayap mendekatiku. Tak ada lagi yang mampu menghalangi kami. Kami telah sama-sama telanjang. Bahkan sehelai benang pun tak sanggup memisahkan kami lagi.
Aku akan mencintainya dengan utuh. Dengan seluruh. Aku berjanji. Akan kuakhiri petualangan sampai disini. Awan keraguan telah tersingkir. Kutambatkan hidupku. Meraih pelangiku. Memastikan segenap janji. Dan saat itu aku tertegun. Seperti pintu yang terbuka tapi tak ada yang memasuki. Aku dan dia sama-sama terlentang dengan kaki mengangkang. (Andrei Aksana)
Oleh: Andrei Aksana
Dimuat dalam kumpulan cerpen Rahasia Bulan (GPU. 2006)
Kucari jejakku di tubuhku.
Sisa peluhmu. Derap nafasmu. Bekas gigitanmu di dada dan leherku. Telah kutempuh tamasya berahi itu. Menghakimi setiap jengkal diriku. Menjadikannya tempat menumpahkan bukti kekuasaanmu. Lelehan lengket itu pun masih terserak di selangkanganku. Damn. Baru kusadar. Bukan saatnya aku romantis.
Aku diperkosa.
Lelaki itu mengenakan jas semiformal. Di balik kemeja dengan dua kancing atas terbuka, otot dadanya tampak menggunung, mulus seperti landasan yang mengundang untuk mendarat. Daris wajahnya yang keras, menunjukkan tabuatnya yang suka menguasai, seperti sekarang saat dia mencekokiku dengan kahluia. Gayanya kasar, cenderung meremehkan, membuat siapapun takluk di bawah kharismanya. Juga aku.
"Ayo, minu lagi!" Ia terus menjejalkan gelas ke bibirku.
Aku tidak melawan. Di tengah kepenatan kerja, aku terdampar di kelab malam ini. Tidak lagi sendirian. Karena lelaki yang berdiri di sisiku di bar, terus menggerayang mendekati diriku.
Dan aku tak pernah mengetahui identitasnya, bahkan siapa namanya, berapa usianya, apa pekerjaannya, di mana rumahnya --- semua pertanyaan klise untuk mengenal seseorang. Apakah penting? Mengapa kita tidak pernah bertanya tentang hati yang membuat percaya: Jujurkah? Tuluskah?
Entah sudah gelas keberapa yang kutenggak. Kesadaranku merayap meningalkan diriku. Sebelum aku betul-betul ambruk, lelaki itu dengan sigap memapahku. Tapi sepenuhnya aku mengerti. Mabukku bukan karena busa alkohol. Karisma lelaki itulah yang serupa bius. Meracuni sel-sel otakku.
Aku seperti layangan yang terombang-ambing di udara. Diterbangkan entah untuk apa. Entah untuk kemana. Berputar-putar.
Lalu dunia ini termangu di sini. D ranjang. Berderit-derit.
Lelaki itu mengimpitku. Tanganku terlalu lemah untuk menghalaunya, sehingha malah terkulai memeluknya---seolah berpegangan pada tebing untuk mencari selamat, padahal jurang itulah yang justru siap membuatku tergelincir---bahkan aku tak sempat lagi memekik. Ada yang membobol tubuhku.
Lelaki itu lenyap begitu saja. Seperi udara. Pergi tapi tetap terasakan kehadirannya. Meninggalkanku sendirian di kamar hotel murahan ini.
Terhuyung-huyung aku menerobos kamar mandi. Di bawah pancuran kuhapus semua kenangan tentang dirinya. Kugosok bersih-bersih sekujur tubuhku. Dengan air sabun. Hanya. Itukah yang diperlukan untuk mencuci dosa?
Ketika kuseka tubuhku dengan handuk, kupahami sepenuhnya. Ada yang ta berhasil terhapuskan. Kenikmatan. Kesakitan yang nikmat. Kenikmatan yang sakit. Menjadi candu.
Dan candu itu membuatku tak bisa berkelit. Kita tidak pernah mendendam pada yang pertama memberi kenikmatan, bukan?
Hanya berusaha memahami, mencerna satu pelajaran baru yang memabukkan. Seperti aku yang ketagihan. Menginginkan. Lagi. Dan lagi.
Aku tak pernah mencari lelaki itu untuk menuntut tanggung jawab. Klise. Kupikir ia justru membukakan mataku menemukan dunia yang kucari. Dunia lelaki yang hanya mencari kepuasan. Peristiwa itu memberi sudut pandang baru. Berkencan dengan lelaki lebih mudah dibandingkan dengan perempuan. Ternyata.
Risiko minimal. Tanpa takut hamil. Tanpa cemas dipaksa menikahi. Bahkan tak perlu merogoh dompet. Semua dilakukan atas dasar suka sama suka.
Gelepas itu semakin kuat memukul-pukul dada dan kepalaku. Kebutuhan untuk melakukannya. Mengulangi. Petualangan itu pun dimulai.
Di toilet mal.
Berdiri bersisian di depan urinoar. Diawali kerlingan mata. Saling melihat dan mengukur perangkat masing-masing. Belakangan kutahu istilahnya adalah "saling mencontek". Setelah sama-sama cocok dan melihat situasi aman, kami langsung menyerbu bilik WC yang kosong. Melakukannya sambil berdiri. Duduk di atas closet. Bukan hanya hati kami yang tegang, tapi juga sekujur ujung tubuh kami. Mendebarkan. Memuaskan.
Di kolam renang.
Begitu banyak mata kelaparan. Mulut-mulut yang dahaga. Ada yang bekat menyelam agar bisa berlutut di bawah pinggangku. Aku dibuntuti sampai loket. Berakhir dengan mandi bersama di bawah shower. Basah dalam arti sebenar-benarnya. Terhujani dan menghujani.
Di dalam lift.
Di antara desakan, di balik punggung-punggung yang tak peduli sekeliling, tangan-tangan terampil menyekap celanaku. Jemari-jemari lincah lincah menari di balik risleting. Aku mengerang. Mengaum. Merelakan diriku dimangsa binatang buas bernama laki-laki. Suaraku tertelan hiruk-pikuk arus yang bergegas keluar lift. Kalah oleh kebisingan kota yang tak pernah reda.
Lalu candu itu semakin menggiringku ke dalam lingkaran yang membelenggu. Aku mulai bergaul dengan kaum penikmat. Karena kepuasan ternyata selalu mencari parameter yang lebih tinggi dari waktu ke waktu. Dan aku terperosok ke dalam obsesi itu.
Aku ikut bergerombol, nongkrong di kafe mencari mangsa, terlibat pembicaraan khas mereka. Mencari teman tidur yang ideal.
Harus yang gede, supaya terasa. Lubang hanya bisa disumbat dengan semua yang besar kan? Supaya tidak bocor. Andri, announcer.
Aku mencatat pelajaran baru: size matters. Ternyata bukan cuma perempuan yang membutuhkannya.
Yang pasrah kalo saya apa-apain. Rela jadi boneka saya. Indra, publisher.
Dibutuhkan pihak yang mau dikalahkan. Salah satu harus dominan.
Dia harus bisa menaklukkan aku, karena aku kuda bunal yang harus dijinakkan. Dia harus bisa membuatku serasa remuk dan lumer. Dandy, banker.
Yang suka mukulin pantat eike. Makin keras, eike makin nafsu, booo. Chepi, banci salon.
Tenaga. Kekuatan. Seperti pertandingan. Hanya itu yang memuaskan ego laki-laki.
Stres bikin gue jadi begini. Gue harus mencari penyaluran. Haris, lawyer.
Aku masih tak habis pikir. Selama ini aku salah menilai orang-orang di sekitarku. Di balik kemeja licin, dasi mewah dan jas eksklusif, ternyata mereka menyimpan fantasi liar. Kedudukan, jabatan, popularitas tak menjamin kenormalan pikiran seseorang. Penampilan tak selalu menunjukkan apa yang ada di dalam diri. Apakah kita harus menjadi banci dulu, berdandan seperti perempuan, supaya bisa jujur?
Yang kaku duoong...!!! Yang macho, nggak ngondek... jadi bisa bikin eike merasa aman terlindungi... Gathan, clubber.
Laki-laki sejati yang bisa bikin gue serasa jadi cewek paling happy. Roger, dancer.
Yang bisa mengabdi dan memuaskan saya seperti seorang istri. Pras, aktor.
Gue nyari yag bottom, karena gue top. Dia harus mau dimasukin, kapan pun gue kepingin, dan dia harus pinter ganti-ganti gaya. Tendangan gue hot. Mau nyoba? Jash, marketing executive.
Dan aku termangu mendengarnya. Pantaskah hubungan seperti ini disebut berpasangan? Bukankah hanya segala yang berbeda dan saling melengkapi yang layak dan normatif disahkan berpasangan?Langit dan bumi. Api dan air. Malam dan pagi...
Tapi laki-laki dan laki-laki?
Apakah esensi?
Kalau masih mencari pihak yang diperempuankan, ngapain juga ngeseks dengan sesama laki-laki? Mengapakah masih juga mencari fungsi lawan jenis?
Top dan bottom.
Macho dan ngondek.
Maskulin dan feminin.
Dimasuki dan memasuki.
Perjalanan ini malah membuatku semakin tersesat. Jawaban justru menimbulkan pertanyaan baru. Lebih baik aku tutup mulut. Langitku tetap kelabu.
Sampai aku bertemu denganya. Lelaki yang tak mau kuajak tidur pada saat kencan pertama.
"Ada yang lebih dari seks dalam hubungan seperti ini," ujarnya meyakinkanku. Menepis tanganku yang nakal. Menjauhkan mulutku yang ganas.
Kumulai babak baru. Love matters. Ikatan di antara kami dibangun di atas perhatian dan kasih sayang. Bukan hanya one big shot, saling tukar pandang, grabak-grubuk lalu selesai.
Nilai. Itu yang kurasakan saat bersamanya.
"Sekarang kita telah siap," begitu katanya suatu hari.
Dengan senyum dan tatapan yang membuat seluruh duniaku terasa benderang. Inikah pelangi yang kunanti? Yang mampu menepis mendung dan kabut di hatiku? Yang menjanjikan warna dan nuansa?
Lalu aku dan dia memutuskan check-in di hotel mewah untuk merayakan malam pertama kami, meskipun tak perlu sampai gunting pita segala.
Aku memanjat ranjang. Ia menanggalkan baju. Kami seperti pengantin baru yang siap mereguk madu kemesraan. Ia merayap mendekatiku. Tak ada lagi yang mampu menghalangi kami. Kami telah sama-sama telanjang. Bahkan sehelai benang pun tak sanggup memisahkan kami lagi.
Aku akan mencintainya dengan utuh. Dengan seluruh. Aku berjanji. Akan kuakhiri petualangan sampai disini. Awan keraguan telah tersingkir. Kutambatkan hidupku. Meraih pelangiku. Memastikan segenap janji. Dan saat itu aku tertegun. Seperti pintu yang terbuka tapi tak ada yang memasuki. Aku dan dia sama-sama terlentang dengan kaki mengangkang. (Andrei Aksana)
0 komentar:
Posting Komentar